Sunday, 17 January 2016

Al-Farabi (Tugas Filsafat Akhlak II)


            Al-Farabi dikenal sebagai filsuf besar yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh. Nama sebenar Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Uzalagh Al-Farabi. DInamai dengan Al-Farabi kerana dihubungkan dengan Farab. Beliau dilahirkan di desa Wasij di Farab (daerah Khurasan dekat dengan sungai Situn, Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H / 870 M dan beliau wafat pada 339 H / 950 M di Damaskus.

            Ayahnya adalah seorang jendral yang berbangsa Iran (Persia) pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasiyah. Ayahnya menikahi seorang perempuan Turkistan dan kadang-kadang disebut keturunan Iran yang merupakan ibu kepada Al-Farabi. Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.

            Al-Farabi hidup seperti orang Badwi yang hidup berpindah-pindah dari satu waktu ke satu waktu. Di masa kecilnya, beliau dikenal rajin belajar, mempunyai otak yang cerdas dan menguasai beberapa jenis bahasa seperti Arab, Turki, Persi. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab (tempat kelahirannya) yang mana penduduknya bermazhab  Syafii. Beliau mempelajari keagamaan, bahasa, fiqh, hadits dan tafsir Al-Quran.

            Ketika Al-Farabi beranjak dewasa, beliau berhijrah dari negrinya ke kota Baghdad pada tahun 922 M yang mana pada waktu itu Kota Baghdad terkenal sebagai Kota Ilmu Pengetahuan. Di kota ini, beliau memperdalam filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, fiqih, matematika, politik dan juga musik. Dengan kecerdasannya, beliau segera terkenal sebagai filosof dan ilmuwan. Beliau berguru kepada Ibnu Suraj dalam mempelajari tata bahasa Arab (Nahwu Shorf). Beliau belajar filsafat dan logika kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, Yuhana Ibn Hailan (tokoh filsafat aliran Alexandria) yang sekaligus mengajak Al-Farabi pergi ke Konstatinopel untuk mendalami filsafat. Setelah 8 tahun berada di Konstatinopel, beliau kembali ke Baghdad untuk mencurahkan diri dalam belajar, mengajar dan menulis filsafat.

            Keahliannya dalam banyak bidang keilmuan termasuk filsafat membuat filsuf yang datang setelahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd mengambil filsafatnya. Pandangan Al-Farabi tentang filsafat dengan usahanya mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya “Al-Jami’u Baina Ra’yai Al-Hakimain Aflatun wa Aristhu”. Pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai “Al-Mualim At-Tsani” (Guru kedua) setelah “Al-Mualim Al-Awal” (Guru pertama) adalah Aristoteles.

            Pada tahun 330 H / 945 M beliau berpindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah Al-Hamdani (Sultan Dinasti Hamdan) di Aleppo. Di sini, beliau bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan cendekiawan lainnya. Di sini juga, beliau bekerja sebagai tujang kebun di siang hari dan belajar teks-teks filsafat pada malam hari. Al-Farabi juga terkenal sangat soleh dan zuhud. Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan gaji yang sangat besar, tetapi beliau lebih memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Yang mengagumkan lagi, beliau hanya memerlukan empat dirham untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari sedangkan selebihnya beliau bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan di Damaskus. Beliau hidup di dua kota ini selama lebih kurang 10 tahun secara berpindah-pindah.

            Menjelang akhir hayatnya, Al-Farabi menetap di Damskus, Syiria hingga wafat ketika berumur 80 tahun (339 H / 950 M). Al-Farabi mencapai posisi yang sangat terpuji di Istana Saif Ad-Daulah, sehingga sang raja bersama pengikutnya mengantarkan jenazahnya ke pemakaman sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.


Sumber:



           

No comments:

Post a Comment