Saturday, 1 April 2017

Konsep Jalaludin Rumi tentang Cinta



 
Pendahuluan
            Cinta merupakan anugerah dari Allah SWT kepada seluruh hambanya yang hidup di muka bumi ini. Sebuah anugerah yang hanya dimiliki oleh makhluk yang bernama manusia yang menghidupkan dan memberikan harapan untuk hidup. Definisi cinta sendiri memiliki banyak makna, setidaknya ada empat makna cinta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu; 1. suka sekali; sayang benar, 2. kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan), 3. ingin sekali; berharap sekali; rindu, 4. susah hati (khawatir); risau.[1] Para sufi juga mendefinisikan arti cinta yang berbeda-beda seperti yang dikatakan oleh Harits Al-Muhasibi “Cinta itu rasa kecenderungan kepada sesuatu secara total, lalu engkau lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu atau hartamu. Kemudian, kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi atau terbuka. Lalu, pada saatnya, ia juga bisa memberitahu kepadamu tentang keteledoran cinta”. Beberapa sufi lainnya mengatakan “Cinta juga laksana api dalam hati yang dapat membakar apa saja selain yang dicintai. Cinta itu mencurahkan segala kemampuan, sedangkan kekasih itu boleh berbuat apa saja yang dimaunya.”[2]
Sebenarnya cinta itu sulit untuk didefinisikan atau dimaknai. Dengan mendefinisikannya, makna cinta itu akan semakin kabur. Definisi dari cinta adalah wujudnya itu sendiri, karena pada dasarnya definisi hanya berlaku untuk ilmu. Sedang cinta adalah sebuah keadaan perasaan yang berpendar ke dalam lubuk hati para pengagungnya. Tak ada yang dapat diutarakan kecuali perasaan cinta itu sendiri. Tak ada yang dapat dibicarakan tentangnya kecuali penjelasan tentang bekas-bekas yang ditinggalkannya, ungkapan atas buahnya dan segenap penjelasan tentang sebab-sebabnya.[3] Dalam makalah ini akan membahas lebih kepada salah seorang tokoh sufi terkenal Jalaluddin Al-Rumi dalam konsep cinta dari manifestasi, tingkatan dan dampaknya.

Biografi Singkat Jalaluddin Al-Rumi
            Nama lengkap beliau Maulana Rumi Muhammad bin Hasin Al-Khattabi Al-Bakri atau lebih dikenali Jalaluddin Rumi. Lahir di Balkh yang pada saat itu masuk dalam wilayah kerajaan Khawarizm, Persia Utara yang sekarang dikenali Afghanistan pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriyah atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya bernama Bahauddin Walad yang berketurunan Abu Bakar As-Shiddiq. Sedangkan ibunya memiliki hubungan darah dengan Ali bin Abi Thalib. Ia juga termasuk keluarga kerajaan, karena kakeknya, Jalaluddin Huseyn al-Katibi, menikah dengan putri raja 'Ala al-Din Muhammad Khawarizm Syah. Rumi memiliki benih yang unggul. Ayahnya adalah seorang cendekiawan yang saleh dan guru yang terkenal di Balkh. Dari perkawinan ini, lahirlah ayah Rumi yang bernama Muhammad, yang selanjutnya ia bergelar Baha' al-Din Walad, tokoh ulama dan guru besar di negerinya di masa itu yang juga bergelar Sultanu al-Ulama'.
Pada masa kanak-kanak, Rumi dididik sendiri oleh ayahnya yang merupakan ulama’ besar saat itu. Setelah itu oleh ayahnya, Rumi dipercayakan pada salah satu muridnya, Sayid Burhanuddin, sebelum hijrah dari Balkh. Ketika Rumi masih berusia tiga tahun, karena terancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang. Mereka menetap di Qonya, ibu kota provinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di Kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan bahwa Rumi akan masyhur yang akan menyalakan api gairah ketuhanan.
Ketika ayahnya meninggal tahun 1230 M, Rumi diangkat sebagai ganti ayahnya untuk mengajar di Madrasa-i-uba'iyyat (Khudavandgar), dan sebagai penasihat para sarjana dan mahasiswa. Selain itu, ia juga berubah profesi sebagai penyiar agama. Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, di samping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.[4]
            Tahun 1244 Masehi, Rumi bertemu dengan syeikh spiritual lainnya seperti, Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddin wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi dan mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karyanya monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hayatnya pada tahun 1273 Masehi.[5]

Konsep Cinta Menurut Jalaluddin Rumi

a. Manifestasi
Bagaimana menerangkan cinta? Akal yang berusaha menjelaskannya adalah seperti keledai di dalam paya. Dan pena yang berusaha menggambarkannya, akan hancur berkeping-keping. Begitulah kata Maulana dalam bagian pendahuluan Matsnawi.
“Bagaimana keadaan sang pencinta?”
Tanya seorang lelaki
Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat;
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
engkaupun akan memanggil-Nya”[6]
Cinta itu pra-abadi, cinta itu magnet, sejurus lamanya cinta benar-benar menyirnakan jiwa, kemudian ia pun menjadi perangkap yang menjerat burung-jiwa, yang kepada burung-jiwa inilah cinta menawarkan minuman anggur realitas, dan semua ini “hanyalah permulaan cinta, tidak ada manusia yang dapat mencapai ujungnya. Maulana suka berbincang-bincang dengan cinta untuk mencari tahu bagaimana rupa cinta itu:
Suatu malam kutanya cinta : “Katakan,
siapa sesungguhnya dirimu?
Katanya : “Aku ini kehidupan abadi,
aku memperbanyak kehidupan indah itu”
Kataku : “ Duhai yang di luar tempat,
di manakah rumahmu?”
Katanya : “ Aku ini bersama api hati,
dan di luar mata yang basah,
Aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi
berubah jadi berwarna kuning.
Akulah utusan yang ringan kaki,
sedangkan pencinta adalah kuda kurusku.
Akulah merah padamnya bunga tulip.
harganya barang itu,
Akulah manisnya meratap, penyibak
segala yang tertabiri.....”[7]
Rumi menyebutkan bahwa yang pertama diciptakan Tuhan adalah cinta. Dari sinilah Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan kreatif paling dasar yang menyusup ke dalam setiap mahluk dan menghidupkan mereka. Cinta pulalah yang bertanggungjawab menjalankan evolusi alam dari materi anorganik yang berstatus rendah menuju level yang paling tinggi pada diri manusia.
Menurut Rumi cinta adalah penyebab gerakan dalam dunia materi, bumi dan langit berputar demi cinta. Ia berkembang dalam tumbuhan dan gerakan dalam makhluk hidup. Cintalah yang menyatukan partikel-partikel benda. Cinta membuat tanaman tumbuh, juga meggerakkan dan mengembang-biakkan binatang, seperti dalam karyanya:
Cinta adalah samudra (tak bertepi) tetapi langit menjadi sekedar,
Serpihan-serpihan busa; (mereka kacau balau) bagaikan perasaan
Zulaikha yang menghasrati Yusuf.
Ketahuilah bahwa langit yang berputar, bergerak oleh deburan
gelombang cinta; seandainya bukan karena cinta, dunia akan (mati) membeku
Bagaimana benda mati lenyap (karena perubahan) menjadi
tumbuhan? Bagaimana tumbuhan mengorbankan dirinya
demi menjadi jiwa (yang hidup)?
Bagaimana jiwa mengorbankan dirinya demi Nafas yang merasuk
ke dalam diri Maryam yang sedang hamil?
Masing-masing (dari mereka) akan menjadi diam dan mengeras
bagaikan es bagaimana mungkin mereka terbang dan mencari seperti belalang?
Setiap manik-manik adalah cinta dengan kesempurnaannya dan
segera menjulang seperti pohon.[8]
Cinta menurut Rumi, bukan hanya milik manusia dan makhluk hidup lainnya tapi juga semesta. Cinta yang mendasari semua eksistensi ini disebut “cinta universal”, Cinta ini muncul pertama kali ketika Tuhan mengungkapkan keindahan-Nya kepada semesta yang masih dalam alam potensial.
Keindahan cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara apapun, meskipun kita memujinya dengan seratus lidah. Begitulah kata Maulana Rumi, seorang pecinta dapat berkelana dalam cinta, dan semakin jauh pecinta melangkah, semakin besar pula kebahagiaan
yang akan diperolehnya. Karena cinta itu tak terbatas Ilahiah dan lebih besar dibanding seribu kebangkitan. Kebangkitan itu merupakan sesuatu yang terbatas, sedangkan cinta tak terbatas.[9]
Kadang Rumi menggambarkan cinta sebagai “astrolabe rahasia-rahasia Tuhan” yang menjadi petunjuk bagi manusia untuk mencari Kekasihnya. Karena itu, cinta membimbing manusia kepada-Nya dan menjaganya dari gangguan orang lain. “Cinta” kata Rumi adalah astrolabe misteri-misteri Tuhan. Kapanpun cinta, entah dari sisi (duniawi) atau dari sisi (langit)-Nya, namun pada akhirnya ia membawa kita ke sana.[10]
Dalam bayangan Rumi, kadangkala cinta digambarkan sebagai api yang melalap segala sesuatu selain sang kekasih. Karena itu, cinta Ilahi dapat menjauhkan manusia dari syirik (penyekutuan Tuhan) dan mengangkatnya ke tingkatan yang tertinggi dari tauhid.
Menurut Rumi, cinta adalah sayap yang sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari kedalaman mengangkatnya ke ketinggian, dari bumi ke bintang Tsuryya. Bila cinta ini berjalan di atas gunung yang tegar, maka gunung pun bergoyang-goyang dengan riang.[11]
Cinta adalah penyakit, tapi ia dapat membebaskan penderitanya dari segala macam penyakit lain. Apabila penyakit cinta menimpa seseorang, maka dia tidak akan ditimpa penyakit lain, ruhaninya menjadi sehat, bahkan nyawanya adalah kesehatan, yang semua orang ingin membelinya. Demikian ia melukiskan dalam sebuah syairnya:
Perih cinta inilah yang membuka tabir hasrat pecinta;
Tiada penyakit yang menyamai duka cinta hati ini;
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur laut atau jamur bumi,
Cintalah yang menimbang kita ke sana pada akhirnya;
Akal kan sia-sia bahkan mengelepar tuk menerangkan cinta,
Bagai keledai dalam lumpur;
Cinta adalah sang penerang cinta itu sendiri.
Bukankan matahari yang menyatakan dirinya matahari,
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.[12]
Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa cinta adalah penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri.[13] Sesungguhnya, “cinta” menjadi satu-satunya kendaraan transformasi. Dalam sajaknya ia berkata:
Melalui cinta duri menjadi mawar, dan
Melalui cinta cuka menjadi anggur manis
Melalui cinta tonggak menjadi duri
Melalui cinta kemalangan nampak seperti keberuntungan
Melalui cinta penjara nampak seperti jalan yang rindang
Melalui cinta tempat perapian yang penuh abu nampak seperti taman
Melalui cinta api yang menyala adalah cahaya yang menyenagkan
Melalui cinta setan menjadi Houri
Melalui cinta batu keras menjadi selembut mentega
Melalui cinta duka adalah kesenangan
Melalui cinta hantu pemakan mayat berubah menjadi malaikat
Melalui cinta sengatan adalah seperti madu
Melalui cinta singa adalah sejinak tikus
Melalui cinta penyakit adalah kesehatan
Melalui cinta sumpah serapah adalah seperti balas kasih.[14]
Cinta seperti samudera yang tak bertepi, meskipun gelombangnya adalah darah atau api. Pecinta, ketika berenang-renang di sana, seperti ikan yang bersuka ria, berapapun banyaknya ikan itu meminum airnya, maka samudera itu pun tak akan pernah berkurang airnya, karena samudra itu awal dan sekaligus akhir segalanya.
Cinta dapat pula seperti sungai yang airnya sangat deras yang dapat mencuci bersih segalanya. Jika cinta dapat membersihkan dengan api, maka cinta pun dapat membersihkan dengan air. Sesungguhnya cinta merindukan mereka yang kotor, supaya cinta dapat membersihkan noda-noda mereka.
Cinta juga dapat dipandang sebagai pohon, sedangkan para pecinta sebagai bayang-bayangnya yang bergerak ketika dahan dan ranting pohon tersebut bergerak-gerak. Dahan dan rantingnya ada dalam pra keabadiaan, sedang akarnya dalam keabadian. Pohon tersebut tidak memiliki awal atau akhir di dunia waktu dan ruang. Di sini Rumi membuat persamaan yang sekilas bahwa cinta itu seperti tumbuhan menjalar yang sepenuhnya mengitari pohon (manusia
natural) yang menutupi pohon itu sampai kerantingnya yang terakhir, sehingga pada akhirnya yang ada hanyalah cinta.[15]
Cinta bisa tampil sebagai kekuatan feminim, sebab ia adalah ibu yang melahirkan umat manusia. Cinta adalah Maryam praabadi, yang mengandung berkat ruh suci, seorang ibu yang merawat anaknya dengan lembut.
Cinta adalah anggur dan sekaligus pelayan minuman, dan minumannya racun sekaligus obat penawar. Ia adalah anggur keras dan membawa manusia ke keabadian. Akibat anggur seperti itu,” setiap orang merasa kepanasan sehingga pakaiannya tampak terlalu ketat dan kemudian dia melepaskan penutup kepalanya dan membuka ikat pinggangnya”. Pecinta terisi anggur cinta, bahkan pecinta menjadi botol atau piala cinta itu sendiri.[16] Demikianlah Maulana dalam memperingkatkan pembacanya agar ingat bahwa orang yang tidak mabuk itu tercela dihadapan jemaah cinta.
Pada saat sampai pada puncak kemabukan cinta, maka terjadilah perkawinan jiwa yang menggambarkan persatuan mistik. Dalam persatuan inilah perbedaan antara pecinta dan kekasihnya sirna oleh perubahan ke dalam hakikat cinta universal. Dengan indahnya, Rumi menggambarkan perkawinan jiwa itu dalam sebuah syairnya:
Bahagia pada saat itu, ketika kita duduk
Bersanding dipelataran istana, Kau dan aku
Dalam dua bentuk, dalam dua tubuh, tapi satu jiwa,
Kau dan aku........
Kau dan aku, yang tak lagi saling menyendiri,
Kau hanyut dalam ekstase
tiada bandingnya lagi ......
Di satu tempat di mana kita bergerak mesra, Kau dan aku
Sungguh menakjukkan, bahwa Kau dan aku duduk di sini,
Pada sudut taman yang sama,
Berada pada saat yang sama berada di Irag dan Khurasan jua,
Kau dan aku.[17]

b. Tingkatan cinta
Abu Nashr Al-Siraj, membagi cinta (mahabbah) kepada tiga tingkatan atau tahapan. Pertama adalah al-Mahabbah al-Amah, yaitu cinta kaum awam, yang berasal dari perbuatan baik dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Kedua adalah mahabbah ash-Shadiqin, yaitu cinta yang bermula dari renungan hati tenang kemandirian, cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dan Tuhan dengan cara menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri lalu hatinya dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepadaNya. Ketiga adalah Mahabbah Ash-Ahiggin wa Al-Arifin yaitu cinta yang ditimbulkan oleh pengetahuan tentang keazalian dan kemutlakan cinta Allah kepada mereka.[18]
Jalaluddin Rumi, sejak kecil sudah mendapatkan pendidikan agama yang baik dari ayahnya, Bahaudin Walad, dan kemudian dari murid-murid ayahnya. Bahaudin Walad adalah seorang guru sufi dan ahli hukum yang termasyur pada waktu itu. Dengan usianya yang masih muda, ia sudah menunjukkan ketertarikan yang besar pada kehidupan religius dan kesalehan. Dari sinilah ia mengalami tingkatan cinta yang pertama.
Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil alih peran ayahnya sebagai seorang guru sufi dan penasehat hukum dan mengikuti praktik-praktik sufi di jalan spritual. Di bawah bimbingan Burhanuddin, murid dari ayahnya, Rumi dalam usia 25 tahun sangat antusias terhadap berbagai disiplin dan doktrin sufi. Kemudian Rumi mengajar di Madrasahnya dan mendakwahkan Islam kepada masyarakat seperti ayahnya. Rumi juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih yang brilian dan sekaligus filosof. Pada puncak karier intelektualnya Rumi berhasil menarik sejumlah sepuluh ribu pengikut dari segenap penjuru dan memperoleh kesohoran yang tak tertandingi dalam ilmu-ilmu Islam.
Namun kosohoran dan keluasan pengetahuan yang dimilikinya, tidak memuaskan kebutuhan jiwanya yang rindu kebebasan dan ketentraman. Ia mulai menyadari bahwa pengetahuan saja tidak mengubah manusia dan mengembangkan kepribadian manusia dengan baik karena perilaku menusia berubah seiring dengan perubahan wataknya. Ia juga mulai yakin bahwa hukum dan akal hanyalah alat yang bisa mendatangkan maslahat atau mudarat saja. Ia tidak lagi tertarik pada teologi karena menurutnya teologi hanya akan menyibukkan diri pada formalisme sehingga mereka mengabaikan makna dan mengupayakan teologi semata-mata demi memuaskan kaum awam dan menguasai mereka.[19] Bisa dikatakan bahwa pada masa ini Rumi telah mengalami tingkat cinta yang kedua.
Pada tahun 1244, Rumi bertemu dengan seorang darwis pengelana misterius, Syamsi Tabriz, dan dunia spritualnya pun mengalami revolusi besar. Menurut pendapatnya, Syams adalah orang yang memberinya bimbingan intelektual yang melegakan dan membimbingnya ke jalan yang benar. Meskipun Rumi telah mempelajari sufisme, namun hanya setelah pertemuannya dengan Syams inilah ia benar-benar melangkahkan kakinya dengan pasti pada bidang ini. Syams menjadi ilham bagi Rumi, yang membimbingnya menuju puncak pengalaman mistik. Pertemuan dengan Syams inilah yang menuntunya menuju tingkat cinta yang ketiga, dalam Matsnawi Rumi menyatakan:
“Syams dari Tabriz menunjukkanku jalan kebenaran,
dan imanku tidak lain adalah anugrahNya”.[20]
Di bawah pengaruh Syams, Rumi mulai menyadari “objek sejati” dari pencarian diri sejatinya. Dalam syair berikut, Rumi mengisyaratkan intensitas pencariannya, yang terakhir dengan hasil yang mengejutkan. Bahwa apa yang ia cari selama ini justru terdapat dalam hatinya sendiri:
Salib dan kristen dari sudut ke sudut
telah ku atasi. Aku tidak menganut salib.
Rumah berhala kukunjungi, kuil kuno;
tak ada rasa yang bisa kutangkap;
Aku mengunjungi pegunungan Herat dan Kandahar;
Aku lihat, Dia tidak di kedalaman (jurang) atau ketinggian (gunung) di sana.
Dengan niat, aku daki puncak Gunung Qaf;
di tempat itu tiada apa-apa kecuali ‘Anga’
Aku arahkan pencarianku menuju Ka’bah;
dia bukan berada di tempat orang tua dan muda yang mendapat ilham itu.
Aku tanya Ibnu Sina tentangnya,
dia di luar pengetahuan Ibnu Sina.
Aku mengunjungi ruang “persidangan”;
dia tidak ada di pengadilan Agung itu.
Aku tilik ke dalam hatiku, di sanalah aku menemukannya;
Dia tidak berada di mana-mana (di tempat lain).[21]
Syair ini pada dasarnya menjelaskan proses pencarian mistik Rumi, dari ruang lingkup eksternal agama ke dalam inti batinnya, dan transformasi jiwanya kepada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Melalui transformasi inilah, Rumi menyadari kekurangan hal-hal yang selama ini ia anggap hakiki.

c. Dampak Cinta
Cinta sangat berpengaruh bagi siapa saja yang mencintai. Cinta sangat luar biasa dan mengubah segalanya. Dalam hal ini Rumi menyatakan melalui syairnya:
Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu
beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara
berubah menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahanmenjadi nikmat.
Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancur leburkan batu
karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan
padanya, serta membuat budak menjadi pemimpin.[22]
Dengan pengaruhnya yang luar biasa pada jiwa manusia, cinta juga
dapat mempercepat perjalanan manusia menuju Tuhan.
Cinta punya lima ratus sayap, dan setiap sayap (mengembang)
Dari atas langit ke bawah bumi.
Orang yang zuhud (zahid) berlari; kekasih (Tuhan) terbang
Lebih cepat dari kilat dan angin.
“Bebaskanlah dirimu dari dunia dan cara jalan kaki, karena
(hanya) elang sang raja yang menemukan jalannya kepada sang Maharaja.”[23]
“Cinta”, ujar Jalaluddin, adalah penyembah bagi kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri.[24] Maka apabila sang pecinta ingin mendapatkan cinta dari kekasihnya, ia harus bisa menghilangkan kebanggaan dan kesombongan dirinya. Dan ketika kebanggaan dan kesombongan itu telah hilang, kemudian timbullah kesadaran diri. Pada saat seperti ini sang pecinta akan memiliki jiwa yang luhur dan menggantikan jiwa yang kerdil, karena jiwa yang kerdil hanyalah dimiliki oleh orang yang egois dan cinta diri. Maka cinta terhadap kekasih akan melenyapkan egoisme dan cinta diri sehingga luhurlah jiwanya.
Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta. Cinta Rumi kepada kawannya, Syamsuddin Tabriz, membuatnya bebas untuk menemukan ungkapan jiwanya sendiri yang menemukan saluran melalui puisinya. Cinta, jiwa, dan kebebasan menyatu.
Namun, pada saat itu terjadi, kehidupan Rumi berputar balik. Setelah menyatakan kebebasannya untuk mencintai dari jiwanya, Rumi tidak lagi berperilaku layaknya syaikh yang baik dan tidak lagi peduli dengan harapan-harapan yang lazim. Ia menjadi benar-benar bebas, hanya mempedulikan jiwanya sendiri dan cintanya yang bebas kepada Tuhan. Rumi berkata:
Lagi-lagi, aku berada dalam diriku sendiri
Aku berjalan pergi, tetapi ke sinilah aku berlayar kembali,
Kaki di udara, jungkir balik,
Seperti seorang wali ketika dia membuka matanya
Ditengah doa: sekarang, ruangan,
Taplak meja, wajah-wajah yang akrab.[25]
Cinta Rumi kepad Ilahi menghendaki “keadaan mabuk” di mana keadaan ini mengisyaratkan tentang keintiman cinta Rumi kepada Tuhan. Dalam konteks ini, Rumi menerangkan simbol-simbol tertentu yang berkenaan dengan kemabukan, seperti anggur dan cawang.  “Tuhan adalah cawang dan anggur: Dia tahu cinta seperti apapun situasiku”.[26]
Dalam syair berikut, Rumi mengekspresikan ekstase yang hebat ketika anggur cinta Ilahi menyentuh jiwanya:
Rembulan yang tak pernah disaksikan langit bahkan dalam mimpi, telah kembali.
Dan datanglah api yang tak bisa dipindahkan air apa pun.
Lihatlah rumah tubuh, dan pandanglah jiwaku, Ini membuat mabuk
dan kerinduan itu dengan cawang cintanya.
Ketika pemilik kedai itu menjadi kekasih hatinya,
Darahku berubah menjadi anggur dan hatiku menjadi “kabab”.
Ketika pandangan dipenuhi ingatan kepadanya, datang suara:
Baguslah wahai cawang, hebatlah, wahai anggur![27]
Cinta ilahi membutuhkan keikhlasan yang dapat memelihara hati manusia dari syirik (kemusyrikan) dan mengantarkannya pada tingkat tauhid yang paling tinggi, yaitu ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah).
Rumi, ketika mabuk cinta mencapai puncaknya, perkawinan jiwa dalam penyatuan mistik terjadi. Dalam penyatuan inilah perbedaan antara pencinta dan yang Dicinta sirna oleh perubahan ke dalam Hakikat Cinta Universal.
Keadaan Rumi seperti ini, karena dipengaruhi oleh cinta yang begitu membara di hatinya. Cinta bisa mengkonsentrasikan semua daya. Dengan adanya cinta semua potensi yang dimiliki oleh sang pencinta, pikiran, perilaku dan sepak terjang pencinta akan disatukan dan dikerahkan untuk mencari sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra lahiriah. Karana itulah hatinya hanya terisi oleh pikiran tentang ma’syuq (yang Dicintai). Di manapun, kemana pun, dan pada saat yang bagaimanapun, sang pencinta terus dibuaikan oleh hasrat cintanya untuk selalu menghadirkan sang kekasih ke dalam jiwanya.

Penutup
            Pandangan cinta menurut Jalaluddin Rumi terasa sangat dalam dan terlihat bahwa beliau telah mengalami lalu menjadi pengalaman dalam menguraikan arti cinta. Melalui syair-syairnya, beliau mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata indah sehingga melarutkan seperti cinta itu sendiri. Disini, dalam konsepnya tentang cinta membahas tentang tiga yaitu; manifestasi, tingkatan dan dampak.
Dalam manifestasinya, beliau mengatakan bahwa tuhan pertama kali menciptakan cinta. Menurutnya cinta adalah penyebab gerakan dalam dunia materi, bumi dan langit berputar. Dan cinta adalah milik manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga disebut “cinta universal”. Keindahan cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara apapun. Cinta juga adalah penyakit, tapi ia dapat membebaskan penderitanya dari segala macam penyakit lain dan menjadi penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri. Cinta juga bisa tampil sebagai kekuatan feminis. Rumi memperingkatkan pembacanya agar ingat bahwa orang yang tidak mabuk itu tercela dihadapan jemaah cinta.
Manakala dalam tingkatannya, Abu Nashr Al-Siraj, membagi cinta kepada tiga. Pertama, al-Mahabbah al-Amah. Kedua adalah mahabbah ash-Shadiqin. Ketiga adalah Mahabbah Ash-Ahiggin wa Al-Arifin. Jalaluddin Rumi mengalami tingkatan cinta yang pertama sejak kecil dengan mendapatkan pendidikan agama yang baik dari ayahnya, Bahaudin Walad, dan kemudian dari murid-murid ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil alih peran ayahnya sehingga tersohor dan memiliki pengetahuan yang luas. Namun, semua ini tidak memuaskan kebutuhan jiwanya yang rindu kebebasan dan ketentraman. Dikatakan bahwa pada masa ini Rumi telah mengalami tingkat cinta yang kedua. Pada tahun 1244, Syams membimbing Rumi menuju puncak pengalaman mistik yang menuntunya menuju tingkat cinta yang ketiga. Melalui transformasi inilah, Rumi menyadari kekurangan hal-hal yang selama ini ia anggap hakiki.
Dampak cinta menurut Rumi adalah penyembah bagi kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri kecuali orang-orang yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri. Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta. Ketika mabuk cinta mencapai puncaknya, perkawinan jiwa dalam penyatuan mistik terjadi. Keadaan Rumi seperti ini, karena dipengaruhi oleh cinta yang begitu membara di hatinya. Dengan adanya cinta semua potensi yang dimiliki oleh sang pencinta, pikiran, perilaku dan sepak terjang pencinta akan disatukan dan dikerahkan untuk mencari sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra lahiriah.


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, diambil dari http://kbbi.web.id/cinta yang diakses pada 20 Maret 2017.
[3] Syeikh Abdul Qadir isa, Cetak Biru Tasawuf : Spiritualitas Ideal dalam Islam, Ciputat Press, Ciputat, 2007, Hlm. 257.
[6] Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api : Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Mizan, Bandung, tt, hlm. 203.
[7] Ibid., hlm. 204.
[8] Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al- Din Rumi : Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 57.
[9] Annemarie Schimmel, hlm. 206.
[10] Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 79.
[11] Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi Perpestif Rabi’ah Al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hlm. 91.
[12] Ibid, hlm. 91-92.
[13] Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, Bumi Angkasa, Jakarta, 2000, hlm. 83.
[14] A. Reza Arasteh, Sufisme dan Penyempurnaan Diri, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 121-122.
[15] Annemarie Shcmmel, op.cit., hlm. 212.
[16] Ibid, hlm. 221.
[17] Syamsun Ni’am, op.cit., hlm. 94.
[18] Muhsin Labib, Jatuh Cinta: Puncak Pengalaman Mistik, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 2004, hlm. 162.
[19] Mulyadhi Kartanegara, op.cit, hlm. 29.
[20] Ibid., 33.
[21] Ibid.
[22] Syamsun Ni’am, op. cit., hlm. 91.
[23] Mulyadhi Kartanegara, op.cit., hlm. 80.
[24] Reynold A. Nicholson, op.cit., hlm. 83.
[25] Denise Breton dan Christopher Largent, Cinta, Jiwa & Kekerasan di Jalan Sufi: Menari Bersama Rumi, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003, hlm. 33.
[26] Mulyadhi Kartanegara, op.cit, hlm. 81.
[27] Ibid.

No comments:

Post a Comment