Pendahuluan
Cinta merupakan anugerah
dari Allah SWT kepada seluruh hambanya yang hidup di muka bumi ini. Sebuah
anugerah yang hanya dimiliki oleh makhluk yang bernama manusia yang
menghidupkan dan memberikan harapan untuk hidup. Definisi cinta sendiri
memiliki banyak makna, setidaknya ada empat makna cinta menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia yaitu; 1. suka sekali;
sayang benar, 2. kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan), 3.
ingin sekali; berharap sekali; rindu, 4. susah hati (khawatir); risau.[1]
Para sufi juga mendefinisikan arti cinta yang berbeda-beda seperti yang
dikatakan oleh Harits Al-Muhasibi “Cinta itu rasa kecenderungan kepada sesuatu
secara total, lalu engkau lebih mementingkan cinta itu daripada dirimu, jiwamu
atau hartamu. Kemudian, kesetiaanmu padanya, baik ketika berada di tempat sunyi
atau terbuka. Lalu, pada saatnya, ia juga bisa memberitahu kepadamu tentang
keteledoran cinta”. Beberapa sufi lainnya mengatakan “Cinta juga laksana api
dalam hati yang dapat membakar apa saja selain yang dicintai. Cinta itu
mencurahkan segala kemampuan, sedangkan kekasih itu boleh berbuat apa saja yang
dimaunya.”[2]
Sebenarnya cinta itu sulit untuk didefinisikan
atau dimaknai. Dengan mendefinisikannya, makna cinta itu akan semakin kabur. Definisi
dari cinta adalah wujudnya itu sendiri, karena pada dasarnya definisi hanya
berlaku untuk ilmu. Sedang cinta adalah sebuah keadaan perasaan yang berpendar
ke dalam lubuk hati para pengagungnya. Tak ada yang dapat diutarakan kecuali
perasaan cinta itu sendiri. Tak ada yang dapat dibicarakan tentangnya kecuali penjelasan
tentang bekas-bekas yang ditinggalkannya, ungkapan atas buahnya dan segenap
penjelasan tentang sebab-sebabnya.[3]
Dalam makalah ini akan membahas lebih kepada salah seorang tokoh sufi terkenal
Jalaluddin Al-Rumi dalam konsep cinta dari manifestasi, tingkatan dan
dampaknya.
Biografi Singkat Jalaluddin Al-Rumi
Nama
lengkap beliau Maulana Rumi Muhammad bin Hasin Al-Khattabi Al-Bakri atau lebih
dikenali Jalaluddin Rumi. Lahir di Balkh yang pada saat itu masuk dalam wilayah kerajaan
Khawarizm, Persia Utara yang sekarang
dikenali Afghanistan pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriyah atau
tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya bernama Bahauddin Walad yang
berketurunan Abu Bakar As-Shiddiq. Sedangkan ibunya memiliki hubungan darah
dengan Ali bin Abi Thalib. Ia juga
termasuk keluarga kerajaan, karena kakeknya, Jalaluddin Huseyn al-Katibi,
menikah dengan putri raja 'Ala al-Din Muhammad Khawarizm Syah. Rumi memiliki benih yang unggul. Ayahnya adalah seorang
cendekiawan yang saleh dan guru yang terkenal di Balkh. Dari perkawinan ini, lahirlah ayah Rumi yang bernama
Muhammad, yang selanjutnya ia bergelar Baha' al-Din Walad, tokoh ulama
dan guru besar di negerinya di masa itu yang juga bergelar Sultanu al-Ulama'.
Pada masa
kanak-kanak, Rumi dididik sendiri oleh ayahnya yang merupakan ulama’ besar saat
itu. Setelah itu oleh ayahnya, Rumi dipercayakan pada salah satu muridnya,
Sayid Burhanuddin, sebelum hijrah dari Balkh. Ketika Rumi masih berusia tiga tahun, karena terancam
oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah
sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki
sekarang. Mereka menetap di Qonya, ibu kota provinsi Rum. Dalam pengembaraan
dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di Kota Nishapur yang
merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota
ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan bahwa Rumi akan masyhur yang akan
menyalakan api gairah ketuhanan.
Ketika ayahnya
meninggal tahun 1230 M, Rumi diangkat sebagai ganti ayahnya untuk mengajar di
Madrasa-i-uba'iyyat (Khudavandgar), dan sebagai penasihat para sarjana dan
mahasiswa. Selain itu, ia juga berubah profesi sebagai penyiar agama. Dari
ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama
ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, di samping
ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh
besar lainnya.[4]
Tahun
1244 Masehi, Rumi bertemu dengan syeikh spiritual lainnya seperti, Syamsuddin
dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah
Syamsuddin wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi dan
mengilhaminya untuk menuliskan pengalaman spiritualnya dalam karyanya
monumentalnya Matsnawi-ye Ma’nawi. Ia
mendiktekan karyanya tersebut kepada Husamuddin sampai akhir hayatnya pada
tahun 1273 Masehi.[5]
Konsep Cinta Menurut Jalaluddin Rumi
a.
Manifestasi
Bagaimana
menerangkan cinta? Akal yang berusaha menjelaskannya adalah seperti keledai di
dalam paya. Dan pena yang berusaha menggambarkannya, akan hancur
berkeping-keping. Begitulah kata Maulana dalam bagian pendahuluan Matsnawi.
“Bagaimana keadaan sang pencinta?”
Tanya seorang lelaki
Kujawab, “Jangan bertanya seperti
itu, sobat;
Bila engkau seperti aku, tentu
engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
engkaupun akan
memanggil-Nya”[6]
Cinta
itu pra-abadi, cinta itu magnet, sejurus lamanya cinta benar-benar menyirnakan
jiwa, kemudian ia pun menjadi perangkap yang menjerat burung-jiwa, yang kepada
burung-jiwa inilah cinta menawarkan minuman anggur realitas, dan semua ini
“hanyalah permulaan cinta, tidak ada manusia yang dapat mencapai ujungnya.
Maulana suka berbincang-bincang dengan cinta untuk mencari tahu bagaimana rupa
cinta itu:
Suatu malam kutanya cinta :
“Katakan,
siapa sesungguhnya dirimu?
Katanya : “Aku ini kehidupan abadi,
aku memperbanyak kehidupan indah
itu”
Kataku : “ Duhai yang di luar
tempat,
di manakah rumahmu?”
Katanya : “ Aku ini bersama api
hati,
dan di luar mata yang basah,
Aku ini tukang cat; karena akulah
setiap pipi
berubah jadi berwarna kuning.
Akulah utusan yang ringan kaki,
sedangkan pencinta adalah kuda
kurusku.
Akulah merah padamnya bunga tulip.
harganya barang itu,
Akulah manisnya meratap, penyibak
segala yang
tertabiri.....”[7]
Rumi menyebutkan bahwa yang pertama diciptakan Tuhan adalah
cinta. Dari sinilah Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan kreatif paling dasar
yang menyusup ke dalam setiap mahluk dan menghidupkan mereka. Cinta pulalah
yang bertanggungjawab menjalankan evolusi alam dari materi anorganik yang
berstatus rendah menuju level yang paling tinggi pada diri manusia.
Menurut
Rumi cinta adalah penyebab gerakan dalam dunia materi, bumi dan langit berputar
demi cinta. Ia berkembang dalam tumbuhan dan gerakan dalam makhluk hidup.
Cintalah yang menyatukan partikel-partikel benda. Cinta membuat tanaman tumbuh,
juga meggerakkan dan mengembang-biakkan binatang, seperti dalam karyanya:
Cinta adalah samudra (tak bertepi)
tetapi langit menjadi sekedar,
Serpihan-serpihan busa; (mereka
kacau balau) bagaikan perasaan
Zulaikha yang menghasrati Yusuf.
Ketahuilah bahwa langit yang
berputar, bergerak oleh deburan
gelombang cinta; seandainya bukan
karena cinta, dunia akan (mati) membeku
Bagaimana benda mati lenyap (karena
perubahan) menjadi
tumbuhan? Bagaimana tumbuhan
mengorbankan dirinya
demi menjadi jiwa (yang hidup)?
Bagaimana jiwa mengorbankan dirinya
demi Nafas yang merasuk
ke dalam diri Maryam yang sedang
hamil?
Masing-masing (dari mereka) akan
menjadi diam dan mengeras
bagaikan es bagaimana mungkin mereka
terbang dan mencari seperti belalang?
Setiap manik-manik adalah cinta
dengan kesempurnaannya dan
segera menjulang
seperti pohon.[8]
Cinta menurut Rumi, bukan hanya milik manusia dan makhluk
hidup lainnya tapi juga semesta. Cinta yang mendasari semua eksistensi ini
disebut “cinta universal”, Cinta ini muncul pertama kali ketika Tuhan
mengungkapkan keindahan-Nya kepada semesta yang masih dalam alam potensial.
Keindahan
cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara apapun, meskipun kita memujinya
dengan seratus lidah. Begitulah kata Maulana Rumi, seorang pecinta dapat
berkelana dalam cinta, dan semakin jauh pecinta melangkah, semakin besar pula
kebahagiaan
yang
akan diperolehnya. Karena cinta itu tak terbatas Ilahiah dan lebih besar
dibanding seribu kebangkitan. Kebangkitan itu merupakan sesuatu yang terbatas, sedangkan
cinta tak terbatas.[9]
Kadang Rumi menggambarkan cinta sebagai “astrolabe
rahasia-rahasia Tuhan” yang menjadi petunjuk bagi manusia untuk mencari
Kekasihnya. Karena itu, cinta membimbing manusia kepada-Nya dan menjaganya dari
gangguan orang lain. “Cinta” kata Rumi adalah astrolabe misteri-misteri Tuhan. Kapanpun
cinta, entah dari sisi (duniawi) atau dari sisi (langit)-Nya, namun pada
akhirnya ia membawa kita ke sana.[10]
Dalam bayangan Rumi, kadangkala cinta digambarkan sebagai
api yang melalap segala sesuatu selain sang kekasih. Karena itu, cinta Ilahi
dapat menjauhkan manusia dari syirik (penyekutuan Tuhan) dan mengangkatnya ke tingkatan
yang tertinggi dari tauhid.
Menurut Rumi, cinta adalah sayap yang sanggup menerbangkan
manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari kedalaman
mengangkatnya ke ketinggian, dari bumi ke bintang Tsuryya. Bila cinta ini
berjalan di atas gunung yang tegar, maka gunung pun bergoyang-goyang dengan
riang.[11]
Cinta
adalah penyakit, tapi ia dapat membebaskan penderitanya dari segala macam penyakit
lain. Apabila penyakit cinta menimpa seseorang, maka dia tidak akan ditimpa
penyakit lain, ruhaninya menjadi sehat, bahkan nyawanya adalah kesehatan, yang
semua orang ingin membelinya. Demikian ia melukiskan dalam sebuah syairnya:
Perih cinta inilah yang membuka
tabir hasrat pecinta;
Tiada penyakit yang menyamai duka
cinta hati ini;
Cinta adalah sebuah penyakit karena
berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia
Ilahi.
Apakah dari jamur laut atau jamur
bumi,
Cintalah yang menimbang kita ke sana
pada akhirnya;
Akal kan sia-sia bahkan mengelepar
tuk menerangkan cinta,
Bagai keledai dalam lumpur;
Cinta adalah sang penerang cinta itu
sendiri.
Bukankan matahari yang menyatakan
dirinya matahari,
Perhatikanlah ia!
Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.[12]
Jalaluddin
Rumi mengatakan bahwa cinta adalah penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan,
dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubah cinta
sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri.[13] Sesungguhnya,
“cinta” menjadi satu-satunya kendaraan transformasi. Dalam sajaknya ia berkata:
Melalui cinta duri menjadi mawar,
dan
Melalui cinta cuka menjadi anggur
manis
Melalui cinta tonggak menjadi duri
Melalui cinta kemalangan nampak
seperti keberuntungan
Melalui cinta penjara nampak seperti
jalan yang rindang
Melalui cinta tempat perapian yang
penuh abu nampak seperti taman
Melalui cinta api yang menyala
adalah cahaya yang menyenagkan
Melalui cinta setan menjadi Houri
Melalui cinta batu keras menjadi selembut
mentega
Melalui cinta duka adalah kesenangan
Melalui cinta hantu pemakan mayat
berubah menjadi malaikat
Melalui cinta sengatan adalah
seperti madu
Melalui cinta singa adalah sejinak
tikus
Melalui cinta penyakit adalah
kesehatan
Melalui
cinta sumpah serapah adalah seperti balas kasih.[14]
Cinta seperti samudera yang tak bertepi, meskipun gelombangnya
adalah darah atau api. Pecinta, ketika berenang-renang di sana, seperti ikan
yang bersuka ria, berapapun banyaknya ikan itu meminum airnya, maka samudera
itu pun tak akan pernah berkurang airnya, karena samudra itu awal dan sekaligus
akhir segalanya.
Cinta dapat pula seperti sungai yang airnya sangat deras
yang dapat mencuci bersih segalanya. Jika cinta dapat membersihkan dengan api,
maka cinta pun dapat membersihkan dengan air. Sesungguhnya cinta merindukan
mereka yang kotor, supaya cinta dapat membersihkan noda-noda mereka.
Cinta
juga dapat dipandang sebagai pohon, sedangkan para pecinta sebagai
bayang-bayangnya yang bergerak ketika dahan dan ranting pohon tersebut
bergerak-gerak. Dahan dan rantingnya ada dalam pra keabadiaan, sedang akarnya
dalam keabadian. Pohon tersebut tidak memiliki awal atau akhir di dunia waktu
dan ruang. Di sini Rumi membuat persamaan yang sekilas bahwa cinta itu seperti
tumbuhan menjalar yang sepenuhnya mengitari pohon (manusia
natural)
yang menutupi pohon itu sampai kerantingnya yang terakhir, sehingga pada
akhirnya yang ada hanyalah cinta.[15]
Cinta bisa tampil sebagai kekuatan feminim, sebab ia adalah
ibu yang melahirkan umat manusia. Cinta adalah Maryam praabadi, yang mengandung
berkat ruh suci, seorang ibu yang merawat anaknya dengan lembut.
Cinta adalah anggur dan sekaligus pelayan minuman, dan
minumannya racun sekaligus obat penawar. Ia adalah anggur keras dan membawa manusia
ke keabadian. Akibat anggur seperti itu,” setiap orang merasa kepanasan
sehingga pakaiannya tampak terlalu ketat dan kemudian dia melepaskan penutup
kepalanya dan membuka ikat pinggangnya”. Pecinta terisi anggur cinta, bahkan
pecinta menjadi botol atau piala cinta itu sendiri.[16] Demikianlah
Maulana dalam memperingkatkan pembacanya agar ingat bahwa orang yang tidak
mabuk itu tercela dihadapan jemaah cinta.
Pada
saat sampai pada puncak kemabukan cinta, maka terjadilah perkawinan jiwa yang
menggambarkan persatuan mistik. Dalam persatuan inilah perbedaan antara pecinta
dan kekasihnya sirna oleh perubahan ke dalam hakikat cinta universal. Dengan
indahnya, Rumi menggambarkan perkawinan jiwa itu dalam sebuah syairnya:
Bahagia pada saat itu, ketika kita
duduk
Bersanding dipelataran istana, Kau
dan aku
Dalam dua bentuk, dalam dua tubuh,
tapi satu jiwa,
Kau dan aku........
Kau dan aku, yang tak lagi saling
menyendiri,
Kau hanyut dalam ekstase
tiada bandingnya lagi ......
Di satu tempat di mana kita bergerak
mesra, Kau dan aku
Sungguh menakjukkan, bahwa Kau dan
aku duduk di sini,
Pada sudut taman yang sama,
Berada pada saat yang sama berada di
Irag dan Khurasan jua,
Kau dan aku.[17]
b.
Tingkatan cinta
Abu Nashr Al-Siraj, membagi cinta (mahabbah) kepada tiga tingkatan
atau tahapan. Pertama adalah
al-Mahabbah al-Amah, yaitu cinta kaum awam, yang berasal dari perbuatan baik
dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Kedua
adalah mahabbah ash-Shadiqin, yaitu cinta yang bermula dari renungan hati
tenang kemandirian, cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dan
Tuhan dengan cara menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri lalu
hatinya dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepadaNya. Ketiga adalah Mahabbah Ash-Ahiggin wa
Al-Arifin yaitu cinta yang ditimbulkan oleh pengetahuan tentang keazalian dan
kemutlakan cinta Allah kepada mereka.[18]
Jalaluddin Rumi, sejak kecil sudah mendapatkan pendidikan
agama yang baik dari ayahnya, Bahaudin Walad, dan kemudian dari murid-murid
ayahnya. Bahaudin Walad adalah seorang guru sufi dan ahli hukum yang termasyur
pada waktu itu. Dengan usianya yang masih muda, ia sudah menunjukkan
ketertarikan yang besar pada kehidupan religius dan kesalehan. Dari sinilah ia
mengalami tingkatan cinta yang pertama.
Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil alih peran ayahnya
sebagai seorang guru sufi dan penasehat hukum dan mengikuti praktik-praktik
sufi di jalan spritual. Di bawah bimbingan Burhanuddin, murid dari ayahnya,
Rumi dalam usia 25 tahun sangat antusias terhadap berbagai disiplin dan doktrin
sufi. Kemudian Rumi mengajar di Madrasahnya dan mendakwahkan Islam kepada
masyarakat seperti ayahnya. Rumi juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih yang
brilian dan sekaligus filosof. Pada puncak karier intelektualnya Rumi berhasil
menarik sejumlah sepuluh ribu pengikut dari segenap penjuru dan memperoleh kesohoran
yang tak tertandingi dalam ilmu-ilmu Islam.
Namun kosohoran dan keluasan pengetahuan yang dimilikinya,
tidak memuaskan kebutuhan jiwanya yang rindu kebebasan dan ketentraman. Ia
mulai menyadari bahwa pengetahuan saja tidak mengubah manusia dan mengembangkan
kepribadian manusia dengan baik karena perilaku menusia berubah seiring dengan
perubahan wataknya. Ia juga mulai yakin bahwa hukum dan akal hanyalah alat yang
bisa mendatangkan maslahat atau mudarat saja. Ia tidak lagi tertarik pada
teologi karena menurutnya teologi hanya akan menyibukkan diri pada formalisme
sehingga mereka mengabaikan makna dan mengupayakan teologi semata-mata demi
memuaskan kaum awam dan menguasai mereka.[19] Bisa
dikatakan bahwa pada masa ini Rumi telah mengalami tingkat cinta yang kedua.
Pada
tahun 1244, Rumi bertemu dengan seorang darwis pengelana misterius, Syamsi
Tabriz, dan dunia spritualnya pun mengalami revolusi besar. Menurut
pendapatnya, Syams adalah orang yang memberinya bimbingan intelektual yang
melegakan dan membimbingnya ke jalan yang benar. Meskipun Rumi telah
mempelajari sufisme, namun hanya setelah pertemuannya dengan Syams inilah ia
benar-benar melangkahkan kakinya dengan pasti pada bidang ini. Syams menjadi
ilham bagi Rumi, yang membimbingnya menuju puncak pengalaman mistik. Pertemuan
dengan Syams inilah yang menuntunya menuju tingkat cinta yang ketiga, dalam
Matsnawi Rumi menyatakan:
“Syams dari Tabriz menunjukkanku
jalan kebenaran,
dan imanku tidak
lain adalah anugrahNya”.[20]
Di
bawah pengaruh Syams, Rumi mulai menyadari “objek sejati” dari pencarian diri sejatinya.
Dalam syair berikut, Rumi mengisyaratkan intensitas pencariannya, yang terakhir
dengan hasil yang mengejutkan. Bahwa apa yang ia cari selama ini justru
terdapat dalam hatinya sendiri:
Salib dan kristen dari sudut ke sudut
telah ku atasi. Aku tidak menganut
salib.
Rumah berhala kukunjungi, kuil kuno;
tak ada rasa yang bisa kutangkap;
Aku mengunjungi pegunungan Herat dan
Kandahar;
Aku lihat, Dia tidak di kedalaman
(jurang) atau ketinggian (gunung) di sana.
Dengan niat, aku daki puncak Gunung
Qaf;
di tempat itu tiada apa-apa kecuali
‘Anga’
Aku arahkan pencarianku menuju
Ka’bah;
dia bukan berada di tempat orang tua
dan muda yang mendapat ilham itu.
Aku tanya Ibnu Sina tentangnya,
dia di luar pengetahuan Ibnu Sina.
Aku mengunjungi ruang “persidangan”;
dia tidak ada di pengadilan Agung
itu.
Aku tilik ke dalam hatiku, di
sanalah aku menemukannya;
Dia tidak berada
di mana-mana (di tempat lain).[21]
Syair
ini pada dasarnya menjelaskan proses pencarian mistik Rumi, dari ruang lingkup eksternal
agama ke dalam inti batinnya, dan transformasi jiwanya kepada tingkat kesadaran
yang lebih tinggi. Melalui transformasi inilah, Rumi menyadari kekurangan
hal-hal yang selama ini ia anggap hakiki.
c.
Dampak Cinta
Cinta
sangat berpengaruh bagi siapa saja yang mencintai. Cinta sangat luar biasa dan mengubah
segalanya. Dalam hal ini Rumi menyatakan melalui syairnya:
Sungguh, cinta dapat mengubah yang
pahit menjadi manis, debu
beralih emas, keruh menjadi bening,
sakit menjadi sembuh, penjara
berubah menjadi telaga, derita
menjadi nikmat, dan kemarahanmenjadi nikmat.
Cintalah yang mampu melunakkan besi,
menghancur leburkan batu
karang, membangkitkan yang mati dan
meniupkan kehidupan
padanya, serta
membuat budak menjadi pemimpin.[22]
Dengan pengaruhnya yang luar biasa
pada jiwa manusia, cinta juga
dapat mempercepat perjalanan manusia
menuju Tuhan.
Cinta punya lima ratus sayap, dan
setiap sayap (mengembang)
Dari atas langit ke bawah bumi.
Orang yang zuhud (zahid) berlari; kekasih
(Tuhan) terbang
Lebih cepat dari kilat dan angin.
“Bebaskanlah dirimu dari dunia dan
cara jalan kaki, karena
(hanya) elang sang
raja yang menemukan jalannya kepada sang Maharaja.”[23]
“Cinta”, ujar Jalaluddin, adalah penyembah bagi kebanggaan dan
kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri. Hanya mereka yang
berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri.[24] Maka
apabila sang pecinta ingin mendapatkan cinta dari kekasihnya, ia harus bisa
menghilangkan kebanggaan dan kesombongan dirinya. Dan ketika kebanggaan dan
kesombongan itu telah hilang, kemudian timbullah kesadaran diri. Pada saat
seperti ini sang pecinta akan memiliki jiwa yang luhur dan menggantikan jiwa yang
kerdil, karena jiwa yang kerdil hanyalah dimiliki oleh orang yang egois dan
cinta diri. Maka cinta terhadap kekasih akan melenyapkan egoisme dan cinta diri
sehingga luhurlah jiwanya.
Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta.
Cinta Rumi kepada kawannya, Syamsuddin Tabriz, membuatnya bebas untuk menemukan
ungkapan jiwanya sendiri yang menemukan saluran melalui puisinya. Cinta, jiwa,
dan kebebasan menyatu.
Namun,
pada saat itu terjadi, kehidupan Rumi berputar balik. Setelah menyatakan kebebasannya
untuk mencintai dari jiwanya, Rumi tidak lagi berperilaku layaknya syaikh yang baik
dan tidak lagi peduli dengan harapan-harapan yang lazim. Ia menjadi benar-benar
bebas, hanya mempedulikan jiwanya sendiri dan cintanya yang bebas kepada Tuhan.
Rumi berkata:
Lagi-lagi, aku berada dalam diriku
sendiri
Aku berjalan pergi, tetapi ke
sinilah aku berlayar kembali,
Kaki di udara, jungkir balik,
Seperti seorang wali ketika dia
membuka matanya
Ditengah doa: sekarang, ruangan,
Taplak meja,
wajah-wajah yang akrab.[25]
Cinta Rumi kepad Ilahi menghendaki “keadaan mabuk” di mana
keadaan ini mengisyaratkan tentang keintiman cinta Rumi kepada Tuhan. Dalam
konteks ini, Rumi menerangkan simbol-simbol tertentu yang berkenaan dengan
kemabukan, seperti anggur dan cawang. “Tuhan
adalah cawang dan anggur: Dia tahu cinta seperti apapun situasiku”.[26]
Dalam
syair berikut, Rumi mengekspresikan ekstase yang hebat ketika anggur cinta
Ilahi menyentuh jiwanya:
Rembulan yang tak pernah disaksikan
langit bahkan dalam mimpi, telah kembali.
Dan datanglah api yang tak bisa
dipindahkan air apa pun.
Lihatlah rumah tubuh, dan pandanglah
jiwaku, Ini membuat mabuk
dan kerinduan itu dengan cawang
cintanya.
Ketika pemilik kedai itu menjadi
kekasih hatinya,
Darahku berubah menjadi anggur dan
hatiku menjadi “kabab”.
Ketika pandangan dipenuhi ingatan kepadanya,
datang suara:
Baguslah wahai
cawang, hebatlah, wahai anggur![27]
Cinta ilahi membutuhkan keikhlasan yang dapat memelihara
hati manusia dari syirik (kemusyrikan) dan mengantarkannya pada tingkat tauhid
yang paling tinggi, yaitu ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah).
Rumi, ketika mabuk cinta mencapai puncaknya, perkawinan jiwa
dalam penyatuan mistik terjadi. Dalam penyatuan inilah perbedaan antara pencinta
dan yang Dicinta sirna oleh perubahan ke dalam Hakikat Cinta Universal.
Keadaan
Rumi seperti ini, karena dipengaruhi oleh cinta yang begitu membara di hatinya.
Cinta bisa mengkonsentrasikan semua daya. Dengan adanya cinta semua potensi
yang dimiliki oleh sang pencinta, pikiran, perilaku dan sepak terjang pencinta
akan disatukan dan dikerahkan untuk mencari sesuatu yang tidak terjangkau oleh
indra lahiriah. Karana itulah hatinya hanya terisi oleh pikiran tentang ma’syuq
(yang Dicintai). Di manapun, kemana pun, dan pada saat yang bagaimanapun, sang
pencinta terus dibuaikan oleh hasrat cintanya untuk selalu menghadirkan sang
kekasih ke dalam jiwanya.
Penutup
Pandangan
cinta menurut Jalaluddin Rumi terasa sangat dalam dan terlihat bahwa beliau
telah mengalami lalu menjadi pengalaman dalam menguraikan arti cinta. Melalui
syair-syairnya, beliau mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata indah
sehingga melarutkan seperti cinta itu sendiri. Disini, dalam konsepnya tentang
cinta membahas tentang tiga yaitu; manifestasi, tingkatan dan dampak.
Dalam manifestasinya,
beliau mengatakan bahwa tuhan pertama kali menciptakan cinta. Menurutnya
cinta adalah penyebab gerakan dalam dunia materi, bumi dan langit berputar. Dan
cinta adalah milik manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga disebut “cinta
universal”. Keindahan cinta tidak dapat diungkapkan dengan cara apapun. Cinta juga
adalah penyakit, tapi ia dapat membebaskan penderitanya dari segala macam penyakit
lain dan menjadi penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan, dan pengobat bagi
seluruh kekurangan diri. Cinta juga bisa tampil sebagai kekuatan feminis. Rumi memperingkatkan
pembacanya agar ingat bahwa orang yang tidak mabuk itu tercela dihadapan jemaah
cinta.
Manakala dalam tingkatannya, Abu Nashr Al-Siraj, membagi cinta
kepada tiga. Pertama, al-Mahabbah
al-Amah. Kedua adalah mahabbah
ash-Shadiqin. Ketiga adalah Mahabbah
Ash-Ahiggin wa Al-Arifin. Jalaluddin Rumi mengalami tingkatan cinta yang
pertama sejak kecil dengan mendapatkan pendidikan agama yang baik dari ayahnya,
Bahaudin Walad, dan kemudian dari murid-murid ayahnya. Setelah ayahnya
meninggal, Rumi mengambil alih peran ayahnya sehingga tersohor dan memiliki
pengetahuan yang luas. Namun, semua ini tidak memuaskan kebutuhan jiwanya yang
rindu kebebasan dan ketentraman. Dikatakan bahwa pada masa ini Rumi telah mengalami
tingkat cinta yang kedua. Pada tahun 1244, Syams membimbing Rumi menuju puncak
pengalaman mistik yang menuntunya menuju tingkat cinta yang ketiga. Melalui
transformasi inilah, Rumi menyadari kekurangan hal-hal yang selama ini ia
anggap hakiki.
Dampak cinta menurut Rumi adalah penyembah bagi kebanggaan dan
kesombongan, dan pengobat bagi seluruh kekurangan diri kecuali orang-orang yang
berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri. Cinta
menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta. Ketika mabuk cinta mencapai
puncaknya, perkawinan jiwa dalam penyatuan mistik terjadi. Keadaan Rumi seperti
ini, karena dipengaruhi oleh cinta yang begitu membara di hatinya. Dengan adanya
cinta semua potensi yang dimiliki oleh sang pencinta, pikiran, perilaku dan
sepak terjang pencinta akan disatukan dan dikerahkan untuk mencari sesuatu yang
tidak terjangkau oleh indra lahiriah.
[1] Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diambil dari http://kbbi.web.id/cinta yang diakses pada 20
Maret 2017.
[2] https://rumisufi.blogspot.co.id/2015/09/cinta-dalam-pandangan-sufi.html. Diakses pada 20 Maret
2017.
[3] Syeikh Abdul Qadir isa,
Cetak Biru Tasawuf : Spiritualitas Ideal
dalam Islam, Ciputat Press, Ciputat, 2007, Hlm. 257.
[6] Annemarie Schimmel, Akulah
Angin Engkaulah Api : Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Mizan, Bandung, tt,
hlm. 203.
[8] Mulyadhi Kartanegara, Jalal
Al- Din Rumi : Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 57.
[11] Syamsun Ni’am, Cinta
Ilahi Perpestif Rabi’ah Al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Risalah Gusti,
Surabaya, 2001, hlm. 91.
[14] A. Reza Arasteh, Sufisme
dan Penyempurnaan Diri, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 121-122.
[18] Muhsin Labib, Jatuh
Cinta: Puncak Pengalaman Mistik, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 2004, hlm.
162.
[21] Ibid.
[25] Denise Breton dan Christopher Largent, Cinta, Jiwa & Kekerasan di Jalan Sufi: Menari Bersama Rumi,
Pustaka Hidayah, Bandung, 2003, hlm. 33.
No comments:
Post a Comment