Saturday, 8 April 2017

Bahaya Pluralisme Agama Terhadap Agama-Agama

Rodhi Hakiki Bin Cecep Mustopa
Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo


Pendahuluan
            Dewasa ini, umat Islam Indonesia dihadapkan dengan sebuah permasalahan non-fisik. Permasalahan ini bukan sekadar permasalahan biasa yang apabila ditemukan solusinya maka ia akan selesai. Permasalahan ini seperti permasalahan yang menular dan berbahaya bahkan bisa disebut sebagai perang. Umat Islam sekarang berhadapan dengan perang pemikiran, suatu yang tidak dapat dilihat dan disentuh tetapi dampak dan bahayanya bisa merusakkan akidah serta keimanan yang bisa menentukan seorang itu berada di surga atau neraka setelah kehidupan dunia ini. Muncul awalnya perang ini ketika datangnya paham sekularisme dan liberalisme dari Barat. Paham Sekularisme dan Liberalisme ini telah merusak ajaran Islam dengan menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan syariat Islam.
            Seiring berkembangnya paham sekularisme dan liberalisme, paham pluralisme juga ikut berkembang bersama. Kesalahpahaman dalam memaknai kata ‘plural’ membuat segalanya menjadi kacau. Pluralisme agama tidak dimaknai dengan adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam fatwa MUI menegaskan bahwa pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama.[1] Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa tidak ada kesalahan dalam pluralisme agama bahkan dengan pluralisme agama bisa menjadi solusi dalam toleransi beragama. Secara sekilas terlihat bahwa pluralisme ini dapat membantu, tetapi kenyataannya banyak bahaya yang timbul dari pemahaman pluralisme agama ini. Dalam makalah ini, penulis akan fokus ke pembahasan bahaya pluralisme agama.

Sebuah Definsi
            Pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam Bahasa Arab diterjemahkan menjadi “al-ta’addudiyyah al’diniyyah” dan dalam Bahasa Inggris “religious pluralism”. Dalam pengertian terpisah, pluralisme berarti prinsip bahwa kelompok-kelompok berbeda dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat. Terjemahan bebas dari pengertian didefinisikan John Hick tentang pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang Yang Real atau Yang Maha Agung dari kultur manusia yang bervariasi dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan Hakikat terjadi secara nyata dalam kultur manusia tersebut.[2]
            Nurcholis Madjid menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikut-pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda tapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.[3]
            Pemahaman terhadap definisi pluralisme agama terdapat pelbagai perbedaan termasuk kalangan pluralis sendiri. Ada yang mengatakan bahwa pluralisme masuk tataran teologis dan ada juga yang membantah. Perbedaan konsep ini menjelaskan bahwa sejatinya konsep pluralisme yang dibangun oleh golongan liberal ini rancu dan ambigu.

Bahaya Pluralisme Agama
            Para pengusung pluralisme agama berharap tidak ada lagi agama yang mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran hakiki karena pada hakikatnya, agama itu merupakan hasil dari berbagai pengalaman keberagaman manusia sehingga setiap agama yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.[4] Kekacauan antar agama terjadi karena tidak adanya toleransi dan saling pengertian antar pemeluk agama yang berbeda sehingga pluralisme agama adalah solusi yang tepat untuk mencegah konflik tersebut dan menciptakan keharmonisan umat manusia di dunia. Sikap toleran terwujud dengan mengakui eksistensi agama masing-masing dan tidak beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar.[5] Ketika sebuah agama tidak boleh mengklaim dirinya paling benar tentunya ini menjadi maslah baru, karena nilai eksklusivitas suatu agama tidak bisa dinafikan.
            Bukti bahayanya pluralisme agama ini ditanggapi oleh Pdt. Stevri Indra Lumintang yang menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan.[6] Manakala Anis Malik Thoha menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah “agama baru” oleh karena itu konsep ini sangat berbahaya, dan perlu mendapat perhatian dan kewaspadaan yang ekstra ketat dari seluruh pemeluk tiap-tiap agama di dunia.[7] Umat Hindu juga melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme adalah paham ‘universalisme radikal’ yang intinya menyatakan bahwa “semua agama adalah sama”.[8] Dari sini terlihat dan bisa dipahami bahwa paham ini sejatinya ditolak oleh para penganut agama-agama karena paham ini berisiko dan sangat berbahaya.
            Dalam agama Kristen, kaum Pluralis menolak Alkitab sebagai wahyu yang final, oleh sebab itu mereka gagal dalam memahami segala sesuatu di dalamnya. Puncak kegagalan mereka itu adalah penolakan terhadap finalitas Kristus dan keselamatan yang ada di dalam Kristus. Kaum Pluralis jelas tidak mengakui doktrin-doktrin utama dalam Alkitab, penolakan itu terutama pada masalah kesejarahan Yesus. Mereka menolak Yesus yang ada dalam Alkitab dan berusaha menggali ulang Yesus yang sesuai dengan pemikiran mereka dan mengembangkan berbagai penafsiran di dalamnya. Mereka mengembangkan suatu sistem penafsiran yang didasarkan oleh pandangan historis. Sistem penafsiran tersebut menghasilkan konsep Krstologi yang baru, penekanannya lebih difokuskan pada Kristologi yang fungsional dan mengabaikan Kristologi yang ontologis. Akibatnya pemikiran ini menolak finalitas Yesus dan berpengaruh terhadap konsep soteriologis yang benar, di mana mereka menekankan universalitas kasih Allah yang tidak akan menghukum satu orang manusiapun, bahwa ada keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Seiring dengan itu mereka mengucilkan bahkan menghilangkan peranan gereja dengan mengembangkan penafsiran Kerajaan Allah yang keliru.[9]
            Manakala dalam agama Hindu, “yoga” merupakan cara untuk selamat. Dengan yoga ini manusia akan meraih Moksha (Pembebasan Mutlak) dan keluar dari karma dan samsara. Pada saat itulah manusia dapat menyatukan diri dengan Brahma.[10] Moksha merupakan tujuan akhir penganut Hindu yang tidak diperoleh dengan amalan-amalan, karena amal baik seseorang itu dibalas dengan jalan kelahiran kembali, sama dengan amalan-amalan jahat. Keselamatan di sini adalah menyatunya manusia dengan Tuhan setelah ia terbebas dari hawa nafsu. Oleh karena itu, terdapat perbedaan nyata dalam agama Hindu mengenai jalan keselamatan dan tidak boleh disamakan dengan agama-agama lain. Menurut Dr. Frank Gaetono Morales, seorang cendekiawan Hindu, pernyataan bahwa semua agama adalah sama merupakan doktrin yang sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional. Beliau juga mengatakan bahwa gagasan Universalisme Radikal (Pluralisme Agama) yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan agama Hindu itu sendiri. Penganut Hindu yang mempercayai paham ini sebenarnya tanpa sadar telah mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno agama Hindu dan membantu memperlemah matriks filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang paling dalam.[11]
            Pemahaman pluralisme agama ini juga menggrogoti agama Islam. Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur tapi tidak mengakui pluralisme yang memandang bahwa semua agama adalah sama karena adanya perbedaan fundamental secara teologis antara agama-agama. Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Perbedaan ini terlihat dari konsep keselamatan yang ada dalam Islam yang meyakini bahwa barang siapa yang beragama selainnya, maka orang tersebut tidak akan selamat (QS. Ali Imran: 85).[12] Kaum Pluralis ini berusaha untuk menyesatkan dan membingungkan akidah umat sebagai contoh dalam nikah beda agama karena beranggapan walaupun berbeda tetapi menuju tujuan yang sama. Al-Ustadz Fahmi Salim menjawab bahwasannya paham ini bertentangan dengan ajaran Islam dan haram untuk mengikutinya. Menurut Islam, hanya Islam yang benar dan yang lain adalah batil, meskipun muslim diajarkan untuk menghormati dan mentoleransi kebebasan umat lain menjalani keyakinannya. Jika semua agama benar, al-Qur’an dalam surah al-Kaafiruun tidak akan berbunyi sedemikian rupa. Dari sini terlihat sangat jelas terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan. Beliau menambahkan bahwa fenomena nikah beda agama ini karena lemahnya akidah dan pegangan hidup sebagian kecil umat Islam yang disebabkan jauhnya mereka dari penghayatan agama yang baik dan bahkan cenderung sudah tidak peduli pada agama alias sekuler.[13] MUI juga telah mengeluarkan Fatwa tentang pluralisme agama ini yang dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluknya.[14]

Penutup
            Kesimpulannya, setiap agama memiliki ajaran, syarat dan bentuk keselamatannya masing-masing. Karena perbedaan ini, maka wajar jika Islam memandang non-Muslim tidak selamat dan begitu pula sebaliknya. Perbedaan-perbedaan ini adalah pluralitas yang harus dijaga dan bukan untuk di sama ratakan. Kekhasan dalam setiap agama mendidik manusia untuk dapat saling menghormati, hidup rukun dan bertoleransi.
            Munculnya pluralisme agama menyebabkan timbulnya polemik baru di kalangan agama-agama. Meski tujuannya terlihat baik, ternyata paham ini sangat problematik. Melalui analisis pada pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa agama-agama tersebut menolak paham ini. Penolakan dari kalangan agamawan terhadap paham ini menunjukkan bahwa paham ini bermasalah, mengandung polemik dan sangat berbahaya. Bahaya yang paling menonjol adalah terkikisnya keyakinan para pemeluk agama yang pada akhirnya memeunculkan orang-orang ateis. Lama-kelamaan, agama-agama di dunia ini kehilangan pengikutnya yang mulai bersikap skeptis[15] terhadap agama.
Pluralisme agama tidak akan pernah menjadi solusi atas keragaman agama-agama dan keharmonisan dan keharmonisan hidup manusia. Malah, pluralisme menimbulkan dan melahirkan polemik baru antar agama yang memaksakan pahamnya untuk menyamakan semua agama. Padahal, konsep masing-masing agama jelas berbeda dan tidak bisa disamakan. Paham ini hanya akan membuat agama-agama kehilangan identitasnya dan pelan-pelan lenyap tanpa pengikut yang mempercayainya.[]

Daftar Pusaka
al-Qur’an al-Karim
Armayanto, Harda. November 2014. Problem Pluralisme Agama. Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2.
Madjid, Nurcholish. 1999. Tiga Agama Satu Tuhan. Bandung: Mizan.
Legenhausen, M. 2010. Pluralitas dan Pluralisme Agama, Jakarta: Shadra Press.
Lumintang, Stevri Indra. 2002. Teologi Abu-Abu (Pluralisme Iman). Malang: YPPII, Cet. I.
Thoha, Anis Malik. 2015 “Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick” dalam ISLAMIA. Thn. 1 No. 4, Januari-Maret.
Madrasutra , Ngakan Made (Ed). 2006. Semua Agama Tidak Sama. Media Hindu.
Sou’yb, Joesoef. 1996. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka al-Husna Zikra.
Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan), Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama,
Al-Ustadz Fahmi Salim, Mewaspadai Bahaya Jebakan Isu Pluralisme,


[1] Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan), Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, (http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12b.-Penjelasan-Tentang-Fatwa-Pluralisme-Liberalisme-dan-Se.pdf), diakses pada 2 April 2017.
[2] Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014. 326.
[3] Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), dalam Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Itelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, Cet.I, 2005), 12-13.
[4] M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Shadra Press, 2010), 19.
[5] Ibid., 37-38
[6] Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu (Pluralisme Iman), (Malang: YPPII, Cet. I, 2002) dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[7] Anis Malik Thoha, “Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick” dalam ISLAMIA. Thn. 1 No. 4, Januari-Maret, 2005 dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[8] Ngakan Made Madrasutra (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[9] Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama., 333.
[10] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Husna Zikra, 1996), 55.
[11] Ngakan Made Madrasutra (Ed), Semua Agama…, 23.
[12] al-Qur’an al-Karim, Surah Ali Imran, Ayat 85, 61.
[13] Al-Ustadz Fahmi Salim, Mewaspadai Bahaya Jebakan Isu Pluralisme, (http://www.fahmisalim.com/2015/01/mewaspadai-bahaya-jebakan-isu-pluralisme.html) diakses pada 2 April 2017.
[14] Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan ALiran Keagamaan, Penjelasan Tentang…, xxx
[15] Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

No comments:

Post a Comment