Pendiri Sosiologi Agama
Sosiologi
umum adalah sosiologi yang lahir sebagai ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat yang muncul pada abad ke 19 oleh Auguste Comte (1798-1857). Menurutnya, untuk mempelajari masyarakat
harus melalui urutan-urutan tertentu yang kemudian akan sampai pada tahap akhir
yaitu tahap ilmiah.
Ajaran yang dikemukakan oleh Auguste
Comte menyebabkan lahirnya beberapa pendekatan untuk mempelajari masyarakat
yang sangat berguna bagi perkembangan sosiologi. Sosiologi
agama menjadi disiplin ilmu sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Tugas
sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang
masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama ialah persekutuan hidup yang
kontitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Sosiologi agama
mempelajari dari sudut empiris sosiologis berbeda dengan mempelajari teologi.[1]
Biografi Emile Durkheim
Emile
Durkheim lahir di Epinal, Perancis timur, tahun 1858. Ia adalah seorang pemeluk
Katholik meskipun ayahnya adalah seorang petinggi Yahudi, namun kemudian ia
memilih untuk tidak tahu menahu tentang Katholik. Ia lebih menaruh perhatian pada
masalah moralitas, terutama moralitas kolektif.
Durkheim
terkenal sebagai sosiolog yang brilian dan memiliki latar belakang akademis
dalam ilmu sosiologis. Dengan mengikuti tradisi yang digariskan oleh
Saint-Simon (1760-1825), Durkheim adalah seorang murid yang ragu-ragu tetapi
dari August Comte (1798-1857), perintis positivisme Perancis yang menciptakan
kata Sosiologi.
Pada
usia 21 tahun ia masuk pendidikan di Ecole Normale Superiure. Dalam waktu
singkat ia membaca Renouvier, Neo Kantian yang sangat dipengaruhi pemikiran
Saint Simon dan August Comte, dan bahkan melahap karya-karya Comte sendiri.
Disertasinya The Division of Labor in Society yang diterbitkan tahun 1893
memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral atau norma-norma tertib sosial,
serta menempatkan krisis moral yang hebat dalam masyarakat modern. Itu
sebabnya, disertasi itu menjadi karya klasik dalam tradisi sosiologi.
Pemikiran
Durkheim secara umum memberikan landasan dasar bagi konsep-konsep sosiologi
melalui kajian-kajiannya terhadap elemen-elemen pembentuk kohesi sosial,
pembagian kerja dalam masyarakat, implikasi dari formasi sosial baru yang
melahirkan gejala anomie, dan nilai-nilai kolektif, termasuk juga tentang aksi
dan interaksi individu dalam masyarakat. Inilah yang menjadi dasar
Durkheim mengembangkan sosiologi dalam bidang sosial keagamaan dan politik.[2]
Pokok-Pokok
Pemikiran
Teori
Solidaritas
Durkheim menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu
keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. Solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan
solidaritas negative dengan ciri-ciri berikut:[3]
1.
Solidaritas
pertama, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat.
2.
Solidaritas
kedua, seorang warga masyarakat tergantung kepada masyarakat.
3. Solidaritas
ketiga, individu merupakanbagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan tetapi
berbeda peran dan fungsinya namun masih dalam kesatuan.
Masyarakat
sederhana mengembangkan solidaritas sosial mekanik, sedangakan masyarakat
modern mengembangkan solidaritas sosial organic. Solidaritas sosial terdiri
dari dua bentuk yaitu:[4]
1. Solidaritas Mekanis
Solidaritas
mekanis dibentuk oleh hukum represif karena anggota masyarakat jenis ini
memiliki kesamaan satu sama lain dan karena mereka cenderung sangat percaya
kepada moralitas bersama. Apapun pelanggaran terhadap sistem bersama tidak akan
dianggap main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas
pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap
sistem moral hanya merupakan pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum
dengan hukuman yang berat.
Menurut
Durkheim solidaritas mekanis dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana,
masyarakat yang disebutnya dengan “segmental”. Pada masyarakat tersebut belum
terdapat pembagian kerja yang berarti. Dengan demikian tidak terdapat saling
ketergantungan antarkelompok yang berbeda karena masing-masing kelompok dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok juga terpisah satu
sama lain. Tipe solidaritas tersebut yang didasarkan atas kepercayaan dan
kesetiakawanan ini diikat oleh suatu collective conscience (kesadaran
kolektif) yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada
semua anggota masyarakat.
2. Solidaritas Organis
Masyarakat
dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang
yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran
dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari
masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya
moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap
pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk
solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang.
Dalam
masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan
pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri,
akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena
masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian
pekerjaan sosial. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat dengan solidaritas
organis bertahan karena perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa
semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Solidaritas organis merupakan sebuah sistem terpadu yang terdiri atas
bagian-bagian yang saling tergantung seperti bagian-bagian suatu organisme
biologis. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang didasarkan padda kesadaran
kolektif maka solidaritas organis didasarkan pada hukum dan akal.
Teori
Bunuh Diri (Suicide)
Durkheim memandang
bunuh diri sebagai fakta sosial, bukan fakta individu. Proposisi dasar yang
digunakan dalam bunuh diri adalah bahwa angka bunuh diri berbeda-beda
menurut tingkat integrasi sosial. Durkheim membedakan empat jenis tipe
bunuh diri, diantaranya:[5]
1.
Bunuh diri Egoistik
Merupakan
hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau
kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang protestan
memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada katolik, karena
kepercayaan mereka mendorong invidualisme yang lebih besar, dan ikatan komunal
dalam gereja Protestan lebih lemah.
Sama
halnya, orang-orang yang tidak kawin mempunyai angka bunuh diri yang lebih
tinggi dari pada orang yang sudah kawin: dan orang-orang yang kawin tanpa anak,
mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada mereka yang menpunyai
anak.
2. Bunuh diri Altruistik
Merupakan
hasil dari suatu integritas sosial yang terlampau kuat. Tingkat integrasi yang
tinggi itu menekan individualitas pada titik dimana individu kedudukannya
sendiri. Sebaliknya, individu itu diharapkan tunduk sepenuhnya terhadap
kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan kelompok yang menempatkan setiap
keinginan individu pada posisi lebih rendah yang mengurangi kesejahteraan
kelompok dan mengganggu kehidupannya.
Kalau
tingkat solidaritas itu cukup tinggi, sang individu itu tidak kesal terhadap
ketaatan pada kelompok ini, malah sebaliknya merasa sangat puas dan
mengorbankan diri untuk kebaikan kelompok yang lebih besar.
Bunuh
diri altruitik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi.
Pertama, norma-norma kelompok mungkin menuntun pengorbanan
kehidupan-kehidupan individu. Sebagai contoh, bunuh diri di kalangan
pilot-pilot yang bertugas dalam Angkatan Udara Jepang selama perang Dunia II. Kedua,
norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu
berat untuk dapat dicapai sehinga individu-individu itu mengalami kegagalan
walaupun sudah menunjukan usaha yang paling optimal. Contohnya, para perwira
militer yang menderita kekalahan mempunyai angka bunuh diri yang tinggi, dan
lebih tinggi dalam kenyataanya tidak dapat dibandingkan dengan serdadu-serdadu
bawahannya, karena identifikasi mereka dengan kemiliteran.
3. Bunuh diri Anomik
Muncul
dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Dalam kondisi
yang normal dan stabil keinginan individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil
keinginan individu dijamin oleh norma-norma yang sesuai dengan prinsip-prinsip
moral yang umum. Norma-norma pengatur ini mejamin bahwa keinginan individu dan
aspirasinya pada umumnya sebanding dengan alat-alat yang tersedia.
Karena
itu, individu berjuang untuk dan menerima imbalan yang sesuai seperti
diharapkanya. Kalau norma-norma pengatur ini tidak berdaya lagi, maka akibatnya
adalah bahwa keinginan individu tidak dapat dipenuhi lagi; keinginan ini lalu
meledak di luar kemungkinan untuk mencapainya, dan idividu itu terus-menerus
mengalami frustasi. Contoh, krisis ekonomi.
4. Bunuh diri Fatalistik
Bunuh
diri Fatalistik adalah bunuh diri yang dilakukan seseorang karena adanya
kondisi yang sangat tertekan, dengan adanya aturan, norma, keyakinan dan
nilai-nilai dalam menjalani interaksi sosial sehingga orang tersebut kehilangan
kebebasan dalam hubungan sosial tersebut.
Kebalikan
dari Anomik, ketika seseorang terlalu diatur, ketika masa depan mereka tanpa
ampun diblokir dan nafsu kekerasan tersedak oleh disiplin menindas. Hal ini
terjadi dalam masyarakat terlalu menindas, menyebabkan orang lebih memilih
untuk mati daripada melakukan hidup dalam masyarakat mereka. Ini adalah alasan
yang sangat langka bagi orang untuk mengambil kehidupan mereka sendiri, tetapi
contoh yang baik akan berada dalam penjara, beberapa orang mungkin lebih
memilih untuk mati daripada hidup di penjara dengan penyalahgunaan konstan dan
peraturan yang berlebihan melarang mereka mengejar keinginan mereka,
Teori
Asal Usul Agama
Dalam
karyanya, agama adalah fakta sosial non-material menempati posisi yang jauh
lebih sentral yang membahasa masyarakat primiitf untuk menemukanakar agama.
Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Dalam agama primitf (totenisme)
benda-benda seperti tumbuhan dan binatang didewakan. Agama adalah cara
masyarakt memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial.
Agama
dan Masyarakat
The Elementary forms on The
Religions Life adalah
karyanya yang mengulas tentang agama merupakan fenomena sosial. Durkheim
mendefinisikan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang telah
dipersatukan dengan hal-hal yang kudus. Dengan ini, terdapat dua unsur yang
penting sebagai syarat dapat disebut agama, 1. Adanya sifat kudus, suci sacral
dari agama dan 2. praktik-praktik ritualnya.[6]
1. Sifat kudus dari agama
Sifat kudus
yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam
artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan
bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh
ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan
pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai
suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan
lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat.
Di dalam
totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan
para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang
berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem
tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.
Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.
Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek
totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan
kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai
mana.
Dunia modern
dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada
moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada
moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa
diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional
tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa
"kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan
sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari
setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan
prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini
menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari
sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat
"kudus" itu oleh masyarakatnya.
2. Praktik ritual agama
daripada melibatkan sifat "kudus",
suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini
ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual
yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif,
yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam
suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam
bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.
Praktek-praktek
ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus
dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi
"kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang
"kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang
yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan
mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari
praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang
berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang
adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan
secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab
seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
Biografi
Max Weber
Max Weber atau dengan nama
lengkapnya Karl Emil Maxmilian Weber, seorang sosiolog dan seorang ahli ekonomi
yang berasal dari Jerman. Lahir di Erfurt, Jerman pada 21 April 1864 dan
menghebuskan nafas terakhirnya di Negara yang sama tetapi di kota yang berbeda
yaitu Munchen. Ayahnya bernama Max Weber Sr yang berprofesi sebagai politikus,
manakala ibunya, Helene Fallensteine adalah seorang Calvanis[7].[8]
Saat kecil Weber merupakan seorang anak yang pemalu, sering
sakit-sakitan namun sangat jenius. Saat remaja dia mulai membaca dan menulis
sesuatu secara ilmiah. Pada usia delapan belas tahun, dia mempelajari
hukum di Universitas Heidelberg. Namun studinya harus terganggu dengan wajib
militer yang dia lakukan selama setahun. Dalam wajib militer, Weber menjalin
hubungan yang erat dengan paman dan bibinya di Strasbourg. Kehidupan paman dan
bibi Weber sangatlah berbeda dengan kehidupan keluarganya. Bibi Weber yang
merupakan adik dari ibu Weber adalah seorang Calvinisme seperti ibu Weber.
Namun, suaminya sangat meghargai itu, berbeda dengan ayah Weber yang sering
melakukan kekerasan. Dari sinilah Weber lebih banyak meniru ibunya daripada
ayahnya karena Weber menganggap sikap ayahnya amoral.
Setelah
wajib militer, dia meneruskan studinya di Berlin dan tinggal bersama kedua
orang tuanya. Pada tahun 1889, Weber menyelesaikan tesis doktoralnya. Setelah
itu dia mengajar di Universitas Berlin meskipun dia masih bekerja sebagai
pengacara. Weber menikahi Marianne Schnitzer pada tahun 1893.
Weber
pernah menjadi dosen di Universitas Freiburg dan pindah ke Universitas Haidelberg
sebagai professor ekonomi. Kehidupan keluarganya masih tetap sama hingga pada
suatu ketika Weber mengusir ayahnya karena menurutnya sang ayah terlampau keras
dengan ibunya. Namun kurang lebih satu bulan yang kemudian ayahnya meninggal.
Hal ini membuat Weber tertekan dan merasa bersalah hingga dia mengalami
gangguan pada kesehatan fisik dan psikologisnya. Tahun 1899 dia harus dirawat
di rumah sakit dan baru pada tahun 1918 Weber dinyatakan sembuh dan dapat
mengajar di Universitas Wina. Max Weber meninggal dunia pada tanggal 14 Juni
1920 karena menderita penemoni.[9]
Pokok-Pokok
Pemikiran
Etika
Protestan
Dalam penilitiannya yang
tertulis dalam karyanya “Etika Protestan
dan Semangat Kapitalisme” atau “Die
Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis”, Weber menyebutkan bahwa agama
adalah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur dengan
mengaitkan dampak pemikiran agama serta perbedaan karakteristik budaya barat.[10]
Sudah pasti setiap penelitian yang dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu.
Tujuannya adalah untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber menemukan dalam penelitiannya dan
menjelaskan bahwa dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh
besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat. Namun,
ada faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah,
menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan
yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha
ekonomi.[11]
Menurutnya, studi agama hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari
pengaruh magi[12],
yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang
dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di
barat.
Karya
Weber terhasil daripada doktrin Prostestan yang membawa implikasi serius bagi
tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan
langsung dengan semangat unuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan
sukses. Ukuran sukses dunia merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga
hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut
Calvanis.[13]
Jadi ukuran sukses dan gagalnya seseorang diukur dengan tampak yang nyata dalam
aktivitas sosial ekonominya yang berarti sukses hidup didunia akan memperoleh
jamina surga, manakala sebaliknya akan masuk neraka.
Etika
Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja keras, bersemanagat, sungguh-sungguh
dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya, etika Protestan
menjadi faktor utama bagi perkembangan lebih lanjut kapitalisme di Eropa dan
ajaran Calvanisme ini menebar ke Amerika Serikat dan sangat berpengaruh. Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebgai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung
pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Menurutnya juga, suatu
cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme
yang dapat mendominasi yang lainnya.
Teori
Proses Rasionalitas
Masyarakat
Barat pada waktu kondisi sosial budaya khususnya dalam segi pemikiran mulai
bergeser dari yang berpikir non rasional menuju ke pemikiran rasional. Weber
melihatnya sebagai gejala awal dari sebuah modernitas, sehingga Weber
menganalis modernitas melalui teori rasionalitasnya. Selain Weber, tokoh
sosiolog lainnya yang hidup pada zaman yang sama yaitu Karl Marx yang
menganalisis modernitas menggunakan teori kapitalis. Namun menurut Weber,
kapitalisme tidak bisa dijadikan konsep atau kata kunci dari modernitas karena
kapitalisme hanyalah salah satu aspek dari rasionalitas. Weber menganggap
bahwasannya modernisasi merupakan perluasan rasionalitas dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.[14]
Konsep rasionalitas Weber sangat menarik perhatian para
filsuf dalam menganalisis masyarakat modern. Para tokoh Teori Kritis Mazhab
Frankfurt memahaminya sebagai merasuknya instrumental dalam segenap aspek
kehidupan, disebabkan dalam menganalisis masyarakat industri maju mencurigai
rasionalitas sebagai biang keladi segala bentuk alienasi, penindasan, dan ke tidak
kritisan. Kemudian Herbert Marcuse berusaha menjelaskan rasionalitas yang
menguasai masyarakat industri maju ini diawali dengan mengkaji pemikiran Weber
sebagai tokoh yang mula-mula menerapkan konsep rasionalisasi.
Weber tidak memberikan suatu pandangan
yang tunggal tentang pengertian rasionalitas, namun Habermas (penerus Karl
Mark) merangkum pengertian rasionalitas menurut Weber ini dalam dua pengertian,
yaitu: pertama, perluasan bidang-bidang sosial yang berada di bawah norma-norma
pengambilan keputusan yang rasional. Kedua, industrialisasi kerja sosial
yang mengakibatkan norma-norma tindakan instrumental juga memasuki bidang
kehidupan yang lain.
Perkembangan rasionalisasi masyarakat
juga berkaitan dengan pelembagaan ilmu dan teknologi ke dalam segenap aspek
kehidupan. Hal ini mungkin karena prestasi ilmu dan teknologi yang ditunjukkan
dalam masyarakat modern telah mampu menawarkan dan memenuhi berbagai kebutuhan
masyarakat. Kenyataan ini didukung oleh paham posistivisme yang berpengaruh
saat itu, yaitu kepercayaan pada kemampuan ilmu-ilmu alam untuk menangani
berbagai permasalahan dalam masyarakat. Jadi rasionalisasi dalam pengertian
Weber adalah proses meluasnya penggunaan rasionalitas ke dalam segenap aspek
kehidupan masyarakat.
Penerimaan
Teori Weber
Alasan diterimanya teori Weber ini
adalah karena terbukti secara politik lebih mudah diterima daripada radikalisme
Marxian. Weber lebih berpandangan liberal terhadap masalah tertentu dan
konservatif terhadap masalah lain. Cara penyajian pendapatnya, ia menghabiskan
sebagian besar dari usianya untuk mempelajari sejarah secara rinci dengan
kesimpulan politis yang memberikan kesimpulan yang sangat ilmiah dan akademis.[15]
Alasan
lainnya adalah Weber bekerja menurut tradisi filsafat yang membentuk karya
sosiolog yang cenderung berpikir dalam hubungan sebab-akibat menurut filsafat
Kant. Weber juga tampil dengna menawarkan pendekatan terhadap kehidupan sosial
yang lebih jauh bervariasi ketimbang Marx.[16]
[1]
Dr. Muhammad Fajar
Pramono, M.Si, Sosiologi Agama Dalam
Konteks Indonesia, Gontor, 2016, Hal. 21.
[2]
Taufik Abdullah dan A.C. Van Der
Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi
Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 6.
[10] Anthony Giddens and David Held, Classes Power and Conflict: Classical and Contemporary Debates,
Berkeley, University of California Press, 1982. Hal. 72.
[11] Ibid., hal
81.
[12] Magi berasal dari kata dalam bahasa latin magicus dari magia dan kata dalam bahasa Yunani mageia yang artinya adalah magis atau gaib.
Istilah magi memiliki banyak pengertian yang dapat diartiakan menjadi 3
pengertian. Pertama, magi adalah salah satu bentuk agama primitif.
Dalam magi, banyak kejadian yang dihubungkan dengan kekuatan gaib. Kedua,
istilah magi juga dapat diartikan sebagai ritus yang bertujuan mempengaruhi orang, binatang, roh, dll.
[13] Max Weber. The
Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New
York, 1958, Hal. 117.
[14] Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, Ar Ruzz
Media, Yogyakarta, cetakan V, 2007, Hal. 107.
[15]
Dr. Muhammad Fajar
Pramono, M.Si, Sosiologi Agama Dalam
Konteks Indonesia, Gontor, 2016, Hal. 40.
[16] Ibid,. Hal. 41.
No comments:
Post a Comment