Saturday, 8 April 2017

Bahaya Pluralisme Agama Terhadap Agama-Agama

Rodhi Hakiki Bin Cecep Mustopa
Universitas Darussalam Gontor, Ponorogo


Pendahuluan
            Dewasa ini, umat Islam Indonesia dihadapkan dengan sebuah permasalahan non-fisik. Permasalahan ini bukan sekadar permasalahan biasa yang apabila ditemukan solusinya maka ia akan selesai. Permasalahan ini seperti permasalahan yang menular dan berbahaya bahkan bisa disebut sebagai perang. Umat Islam sekarang berhadapan dengan perang pemikiran, suatu yang tidak dapat dilihat dan disentuh tetapi dampak dan bahayanya bisa merusakkan akidah serta keimanan yang bisa menentukan seorang itu berada di surga atau neraka setelah kehidupan dunia ini. Muncul awalnya perang ini ketika datangnya paham sekularisme dan liberalisme dari Barat. Paham Sekularisme dan Liberalisme ini telah merusak ajaran Islam dengan menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan syariat Islam.
            Seiring berkembangnya paham sekularisme dan liberalisme, paham pluralisme juga ikut berkembang bersama. Kesalahpahaman dalam memaknai kata ‘plural’ membuat segalanya menjadi kacau. Pluralisme agama tidak dimaknai dengan adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam fatwa MUI menegaskan bahwa pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama.[1] Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa tidak ada kesalahan dalam pluralisme agama bahkan dengan pluralisme agama bisa menjadi solusi dalam toleransi beragama. Secara sekilas terlihat bahwa pluralisme ini dapat membantu, tetapi kenyataannya banyak bahaya yang timbul dari pemahaman pluralisme agama ini. Dalam makalah ini, penulis akan fokus ke pembahasan bahaya pluralisme agama.

Sebuah Definsi
            Pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam Bahasa Arab diterjemahkan menjadi “al-ta’addudiyyah al’diniyyah” dan dalam Bahasa Inggris “religious pluralism”. Dalam pengertian terpisah, pluralisme berarti prinsip bahwa kelompok-kelompok berbeda dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat. Terjemahan bebas dari pengertian didefinisikan John Hick tentang pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang Yang Real atau Yang Maha Agung dari kultur manusia yang bervariasi dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan Hakikat terjadi secara nyata dalam kultur manusia tersebut.[2]
            Nurcholis Madjid menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikut-pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda tapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.[3]
            Pemahaman terhadap definisi pluralisme agama terdapat pelbagai perbedaan termasuk kalangan pluralis sendiri. Ada yang mengatakan bahwa pluralisme masuk tataran teologis dan ada juga yang membantah. Perbedaan konsep ini menjelaskan bahwa sejatinya konsep pluralisme yang dibangun oleh golongan liberal ini rancu dan ambigu.

Bahaya Pluralisme Agama
            Para pengusung pluralisme agama berharap tidak ada lagi agama yang mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran hakiki karena pada hakikatnya, agama itu merupakan hasil dari berbagai pengalaman keberagaman manusia sehingga setiap agama yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.[4] Kekacauan antar agama terjadi karena tidak adanya toleransi dan saling pengertian antar pemeluk agama yang berbeda sehingga pluralisme agama adalah solusi yang tepat untuk mencegah konflik tersebut dan menciptakan keharmonisan umat manusia di dunia. Sikap toleran terwujud dengan mengakui eksistensi agama masing-masing dan tidak beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar.[5] Ketika sebuah agama tidak boleh mengklaim dirinya paling benar tentunya ini menjadi maslah baru, karena nilai eksklusivitas suatu agama tidak bisa dinafikan.
            Bukti bahayanya pluralisme agama ini ditanggapi oleh Pdt. Stevri Indra Lumintang yang menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan.[6] Manakala Anis Malik Thoha menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah “agama baru” oleh karena itu konsep ini sangat berbahaya, dan perlu mendapat perhatian dan kewaspadaan yang ekstra ketat dari seluruh pemeluk tiap-tiap agama di dunia.[7] Umat Hindu juga melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme adalah paham ‘universalisme radikal’ yang intinya menyatakan bahwa “semua agama adalah sama”.[8] Dari sini terlihat dan bisa dipahami bahwa paham ini sejatinya ditolak oleh para penganut agama-agama karena paham ini berisiko dan sangat berbahaya.
            Dalam agama Kristen, kaum Pluralis menolak Alkitab sebagai wahyu yang final, oleh sebab itu mereka gagal dalam memahami segala sesuatu di dalamnya. Puncak kegagalan mereka itu adalah penolakan terhadap finalitas Kristus dan keselamatan yang ada di dalam Kristus. Kaum Pluralis jelas tidak mengakui doktrin-doktrin utama dalam Alkitab, penolakan itu terutama pada masalah kesejarahan Yesus. Mereka menolak Yesus yang ada dalam Alkitab dan berusaha menggali ulang Yesus yang sesuai dengan pemikiran mereka dan mengembangkan berbagai penafsiran di dalamnya. Mereka mengembangkan suatu sistem penafsiran yang didasarkan oleh pandangan historis. Sistem penafsiran tersebut menghasilkan konsep Krstologi yang baru, penekanannya lebih difokuskan pada Kristologi yang fungsional dan mengabaikan Kristologi yang ontologis. Akibatnya pemikiran ini menolak finalitas Yesus dan berpengaruh terhadap konsep soteriologis yang benar, di mana mereka menekankan universalitas kasih Allah yang tidak akan menghukum satu orang manusiapun, bahwa ada keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Seiring dengan itu mereka mengucilkan bahkan menghilangkan peranan gereja dengan mengembangkan penafsiran Kerajaan Allah yang keliru.[9]
            Manakala dalam agama Hindu, “yoga” merupakan cara untuk selamat. Dengan yoga ini manusia akan meraih Moksha (Pembebasan Mutlak) dan keluar dari karma dan samsara. Pada saat itulah manusia dapat menyatukan diri dengan Brahma.[10] Moksha merupakan tujuan akhir penganut Hindu yang tidak diperoleh dengan amalan-amalan, karena amal baik seseorang itu dibalas dengan jalan kelahiran kembali, sama dengan amalan-amalan jahat. Keselamatan di sini adalah menyatunya manusia dengan Tuhan setelah ia terbebas dari hawa nafsu. Oleh karena itu, terdapat perbedaan nyata dalam agama Hindu mengenai jalan keselamatan dan tidak boleh disamakan dengan agama-agama lain. Menurut Dr. Frank Gaetono Morales, seorang cendekiawan Hindu, pernyataan bahwa semua agama adalah sama merupakan doktrin yang sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional. Beliau juga mengatakan bahwa gagasan Universalisme Radikal (Pluralisme Agama) yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan agama Hindu itu sendiri. Penganut Hindu yang mempercayai paham ini sebenarnya tanpa sadar telah mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno agama Hindu dan membantu memperlemah matriks filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang paling dalam.[11]
            Pemahaman pluralisme agama ini juga menggrogoti agama Islam. Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur tapi tidak mengakui pluralisme yang memandang bahwa semua agama adalah sama karena adanya perbedaan fundamental secara teologis antara agama-agama. Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Perbedaan ini terlihat dari konsep keselamatan yang ada dalam Islam yang meyakini bahwa barang siapa yang beragama selainnya, maka orang tersebut tidak akan selamat (QS. Ali Imran: 85).[12] Kaum Pluralis ini berusaha untuk menyesatkan dan membingungkan akidah umat sebagai contoh dalam nikah beda agama karena beranggapan walaupun berbeda tetapi menuju tujuan yang sama. Al-Ustadz Fahmi Salim menjawab bahwasannya paham ini bertentangan dengan ajaran Islam dan haram untuk mengikutinya. Menurut Islam, hanya Islam yang benar dan yang lain adalah batil, meskipun muslim diajarkan untuk menghormati dan mentoleransi kebebasan umat lain menjalani keyakinannya. Jika semua agama benar, al-Qur’an dalam surah al-Kaafiruun tidak akan berbunyi sedemikian rupa. Dari sini terlihat sangat jelas terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan. Beliau menambahkan bahwa fenomena nikah beda agama ini karena lemahnya akidah dan pegangan hidup sebagian kecil umat Islam yang disebabkan jauhnya mereka dari penghayatan agama yang baik dan bahkan cenderung sudah tidak peduli pada agama alias sekuler.[13] MUI juga telah mengeluarkan Fatwa tentang pluralisme agama ini yang dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluknya.[14]

Penutup
            Kesimpulannya, setiap agama memiliki ajaran, syarat dan bentuk keselamatannya masing-masing. Karena perbedaan ini, maka wajar jika Islam memandang non-Muslim tidak selamat dan begitu pula sebaliknya. Perbedaan-perbedaan ini adalah pluralitas yang harus dijaga dan bukan untuk di sama ratakan. Kekhasan dalam setiap agama mendidik manusia untuk dapat saling menghormati, hidup rukun dan bertoleransi.
            Munculnya pluralisme agama menyebabkan timbulnya polemik baru di kalangan agama-agama. Meski tujuannya terlihat baik, ternyata paham ini sangat problematik. Melalui analisis pada pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa agama-agama tersebut menolak paham ini. Penolakan dari kalangan agamawan terhadap paham ini menunjukkan bahwa paham ini bermasalah, mengandung polemik dan sangat berbahaya. Bahaya yang paling menonjol adalah terkikisnya keyakinan para pemeluk agama yang pada akhirnya memeunculkan orang-orang ateis. Lama-kelamaan, agama-agama di dunia ini kehilangan pengikutnya yang mulai bersikap skeptis[15] terhadap agama.
Pluralisme agama tidak akan pernah menjadi solusi atas keragaman agama-agama dan keharmonisan dan keharmonisan hidup manusia. Malah, pluralisme menimbulkan dan melahirkan polemik baru antar agama yang memaksakan pahamnya untuk menyamakan semua agama. Padahal, konsep masing-masing agama jelas berbeda dan tidak bisa disamakan. Paham ini hanya akan membuat agama-agama kehilangan identitasnya dan pelan-pelan lenyap tanpa pengikut yang mempercayainya.[]

Daftar Pusaka
al-Qur’an al-Karim
Armayanto, Harda. November 2014. Problem Pluralisme Agama. Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2.
Madjid, Nurcholish. 1999. Tiga Agama Satu Tuhan. Bandung: Mizan.
Legenhausen, M. 2010. Pluralitas dan Pluralisme Agama, Jakarta: Shadra Press.
Lumintang, Stevri Indra. 2002. Teologi Abu-Abu (Pluralisme Iman). Malang: YPPII, Cet. I.
Thoha, Anis Malik. 2015 “Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick” dalam ISLAMIA. Thn. 1 No. 4, Januari-Maret.
Madrasutra , Ngakan Made (Ed). 2006. Semua Agama Tidak Sama. Media Hindu.
Sou’yb, Joesoef. 1996. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka al-Husna Zikra.
Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan), Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama,
Al-Ustadz Fahmi Salim, Mewaspadai Bahaya Jebakan Isu Pluralisme,


[1] Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan), Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, (http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12b.-Penjelasan-Tentang-Fatwa-Pluralisme-Liberalisme-dan-Se.pdf), diakses pada 2 April 2017.
[2] Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014. 326.
[3] Nurcholish Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), dalam Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Itelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, Cet.I, 2005), 12-13.
[4] M. Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Shadra Press, 2010), 19.
[5] Ibid., 37-38
[6] Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu (Pluralisme Iman), (Malang: YPPII, Cet. I, 2002) dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[7] Anis Malik Thoha, “Konsep World Theology dan Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick” dalam ISLAMIA. Thn. 1 No. 4, Januari-Maret, 2005 dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[8] Ngakan Made Madrasutra (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[9] Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama., 333.
[10] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Husna Zikra, 1996), 55.
[11] Ngakan Made Madrasutra (Ed), Semua Agama…, 23.
[12] al-Qur’an al-Karim, Surah Ali Imran, Ayat 85, 61.
[13] Al-Ustadz Fahmi Salim, Mewaspadai Bahaya Jebakan Isu Pluralisme, (http://www.fahmisalim.com/2015/01/mewaspadai-bahaya-jebakan-isu-pluralisme.html) diakses pada 2 April 2017.
[14] Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan ALiran Keagamaan, Penjelasan Tentang…, xxx
[15] Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

Saturday, 1 April 2017

Pendiri Sosiologi Agama: Emile Durkheim & Max Weber


Pendiri Sosiologi Agama

            Sosiologi umum adalah sosiologi yang lahir sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat yang muncul pada abad ke 19 oleh Auguste Comte (1798-1857).  Menurutnya, untuk mempelajari masyarakat harus melalui urutan-urutan tertentu yang kemudian akan sampai pada tahap akhir yaitu tahap ilmiah.

            Ajaran yang dikemukakan oleh Auguste Comte menyebabkan lahirnya beberapa pendekatan untuk mempelajari masyarakat yang sangat berguna bagi perkembangan sosiologi. Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Tugas sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama ialah persekutuan hidup yang kontitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan. Sosiologi agama mempelajari dari sudut empiris sosiologis berbeda dengan mempelajari teologi.[1]

Biografi Emile Durkheim

Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis timur, tahun 1858. Ia adalah seorang pemeluk Katholik meskipun ayahnya adalah seorang petinggi Yahudi, namun kemudian ia memilih untuk tidak tahu menahu tentang Katholik. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas kolektif.

Durkheim terkenal sebagai sosiolog yang brilian dan memiliki latar belakang akademis dalam ilmu sosiologis. Dengan mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint-Simon (1760-1825), Durkheim adalah seorang murid yang ragu-ragu tetapi dari August Comte (1798-1857), perintis positivisme Perancis yang menciptakan kata Sosiologi.

Pada usia 21 tahun ia masuk pendidikan di Ecole Normale Superiure. Dalam waktu singkat ia membaca Renouvier, Neo Kantian yang sangat dipengaruhi pemikiran Saint Simon dan August Comte, dan bahkan melahap karya-karya Comte sendiri. Disertasinya The Division of Labor in Society yang diterbitkan tahun 1893 memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral atau norma-norma tertib sosial, serta menempatkan krisis moral yang hebat dalam masyarakat modern. Itu sebabnya, disertasi itu menjadi karya klasik dalam tradisi sosiologi.

Pemikiran Durkheim secara umum memberikan landasan dasar bagi konsep-konsep sosiologi melalui kajian-kajiannya terhadap elemen-elemen pembentuk kohesi sosial, pembagian kerja dalam masyarakat, implikasi dari formasi sosial baru yang melahirkan gejala anomie, dan nilai-nilai kolektif, termasuk juga tentang aksi dan interaksi individu dalam masyarakat.  Inilah yang menjadi dasar Durkheim mengembangkan sosiologi dalam bidang sosial keagamaan dan politik.[2]


Pokok-Pokok Pemikiran

Teori Solidaritas

            Durkheim menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negative dengan ciri-ciri berikut:[3]
1.     Solidaritas pertama, seorang warga masyarakat secara langsung terikat kepada masyarakat.
2.     Solidaritas kedua, seorang warga masyarakat tergantung kepada masyarakat.
3.   Solidaritas ketiga, individu merupakanbagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan tetapi berbeda peran dan fungsinya namun masih dalam kesatuan.

Masyarakat sederhana mengembangkan solidaritas sosial mekanik, sedangakan masyarakat modern mengembangkan solidaritas sosial organic. Solidaritas sosial terdiri dari dua bentuk yaitu:[4]

1.  Solidaritas Mekanis

Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain dan karena mereka cenderung sangat percaya kepada moralitas bersama. Apapun pelanggaran terhadap sistem bersama tidak akan dianggap main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap sistem moral hanya merupakan pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.

Menurut Durkheim solidaritas mekanis dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, masyarakat yang disebutnya dengan “segmental”. Pada masyarakat tersebut belum terdapat pembagian kerja yang berarti. Dengan demikian tidak terdapat saling ketergantungan antarkelompok yang berbeda karena masing-masing kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok juga terpisah satu sama lain. Tipe solidaritas tersebut yang didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini diikat oleh suatu collective conscience (kesadaran kolektif) yaitu suatu sistem kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.

2. Solidaritas Organis

Masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum.  Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. 

Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat dengan solidaritas organis bertahan karena perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Solidaritas organis merupakan sebuah sistem terpadu yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tergantung seperti bagian-bagian suatu organisme biologis. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang didasarkan padda kesadaran kolektif maka solidaritas organis didasarkan pada hukum dan akal.


Teori Bunuh Diri (Suicide)

            Durkheim memandang bunuh diri sebagai fakta sosial, bukan fakta individu. Proposisi dasar yang digunakan dalam bunuh diri adalah bahwa angka bunuh diri berbeda-beda  menurut tingkat integrasi sosial. Durkheim membedakan empat jenis tipe bunuh diri, diantaranya:[5]
1. Bunuh diri Egoistik
Merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang protestan memiliki angka bunuh  diri yang lebih tinggi dari pada katolik, karena kepercayaan mereka mendorong invidualisme yang lebih besar, dan ikatan komunal dalam gereja Protestan lebih lemah.

Sama halnya, orang-orang yang tidak kawin mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada orang yang sudah kawin: dan orang-orang yang kawin tanpa anak, mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada mereka yang menpunyai anak.
2. Bunuh diri Altruistik
Merupakan hasil dari suatu integritas sosial yang terlampau kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu menekan individualitas pada titik dimana individu kedudukannya sendiri. Sebaliknya, individu itu diharapkan tunduk sepenuhnya terhadap kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan kelompok yang menempatkan setiap keinginan individu pada posisi lebih rendah yang mengurangi kesejahteraan kelompok dan mengganggu  kehidupannya.

Kalau tingkat solidaritas itu cukup tinggi, sang individu itu tidak kesal terhadap ketaatan pada kelompok ini, malah sebaliknya merasa sangat puas dan mengorbankan diri untuk kebaikan kelompok yang lebih besar.

Bunuh diri altruitik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi.  Pertama, norma-norma kelompok mungkin menuntun pengorbanan kehidupan-kehidupan individu. Sebagai contoh, bunuh diri di kalangan pilot-pilot yang bertugas dalam Angkatan Udara Jepang selama perang Dunia II. Kedua, norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu berat untuk dapat dicapai sehinga individu-individu itu mengalami kegagalan walaupun sudah menunjukan usaha yang paling optimal. Contohnya, para perwira militer yang menderita kekalahan mempunyai angka bunuh diri yang tinggi, dan lebih tinggi dalam kenyataanya tidak dapat dibandingkan dengan serdadu-serdadu bawahannya, karena identifikasi mereka dengan kemiliteran.
3. Bunuh diri Anomik
Muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil keinginan individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil keinginan individu dijamin oleh norma-norma yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang umum. Norma-norma pengatur ini mejamin bahwa keinginan individu dan aspirasinya pada umumnya sebanding dengan alat-alat yang tersedia.

Karena itu, individu berjuang untuk dan menerima imbalan yang sesuai seperti diharapkanya. Kalau norma-norma pengatur ini tidak berdaya lagi, maka akibatnya adalah bahwa keinginan individu tidak dapat dipenuhi lagi; keinginan ini lalu meledak di luar kemungkinan untuk mencapainya, dan idividu itu terus-menerus mengalami frustasi. Contoh, krisis ekonomi.
4. Bunuh diri Fatalistik
Bunuh diri Fatalistik adalah bunuh diri yang dilakukan seseorang karena adanya kondisi yang sangat tertekan, dengan adanya aturan, norma, keyakinan dan nilai-nilai dalam menjalani interaksi sosial sehingga orang tersebut kehilangan kebebasan dalam hubungan sosial tersebut.

Kebalikan dari Anomik, ketika seseorang terlalu diatur, ketika masa depan mereka tanpa ampun diblokir dan nafsu kekerasan tersedak oleh disiplin menindas. Hal ini terjadi dalam masyarakat terlalu menindas, menyebabkan orang lebih memilih untuk mati daripada melakukan hidup dalam masyarakat mereka. Ini adalah alasan yang sangat langka bagi orang untuk mengambil kehidupan mereka sendiri, tetapi contoh yang baik akan berada dalam penjara, beberapa orang mungkin lebih memilih untuk mati daripada hidup di penjara dengan penyalahgunaan konstan dan peraturan yang berlebihan melarang mereka mengejar keinginan mereka,


Teori Asal Usul Agama

            Dalam karyanya, agama adalah fakta sosial non-material menempati posisi yang jauh lebih sentral yang membahasa masyarakat primiitf untuk menemukanakar agama. Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Dalam agama primitf (totenisme) benda-benda seperti tumbuhan dan binatang didewakan. Agama adalah cara masyarakt memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial.

Agama dan Masyarakat

            The Elementary forms on The Religions Life adalah karyanya yang mengulas tentang agama merupakan fenomena sosial. Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan dengan hal-hal yang kudus. Dengan ini, terdapat dua unsur yang penting sebagai syarat dapat disebut agama, 1. Adanya sifat kudus, suci sacral dari agama dan 2. praktik-praktik ritualnya.[6]

1. Sifat kudus dari agama
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
2. Praktik ritual agama
 daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.


           
                       


Biografi Max Weber

Max Weber atau dengan nama lengkapnya Karl Emil Maxmilian Weber, seorang sosiolog dan seorang ahli ekonomi yang berasal dari Jerman. Lahir di Erfurt, Jerman pada 21 April 1864 dan menghebuskan nafas terakhirnya di Negara yang sama tetapi di kota yang berbeda yaitu Munchen. Ayahnya bernama Max Weber Sr yang berprofesi sebagai politikus, manakala ibunya, Helene Fallensteine adalah seorang Calvanis[7].[8]

   Saat kecil Weber merupakan seorang anak yang pemalu, sering sakit-sakitan namun sangat jenius. Saat remaja dia mulai membaca dan menulis sesuatu secara ilmiah. Pada usia delapan belas tahun, dia mempelajari hukum di Universitas Heidelberg. Namun studinya harus terganggu dengan wajib militer yang dia lakukan selama setahun. Dalam wajib militer, Weber menjalin hubungan yang erat dengan paman dan bibinya di Strasbourg. Kehidupan paman dan bibi Weber sangatlah berbeda dengan kehidupan keluarganya. Bibi Weber yang merupakan adik dari ibu Weber adalah seorang Calvinisme seperti ibu Weber. Namun, suaminya sangat meghargai itu, berbeda dengan ayah Weber yang sering melakukan kekerasan. Dari sinilah Weber lebih banyak meniru ibunya daripada ayahnya karena Weber menganggap sikap ayahnya amoral. 

Setelah wajib militer, dia meneruskan studinya di Berlin dan tinggal bersama kedua orang tuanya. Pada tahun 1889, Weber menyelesaikan tesis doktoralnya. Setelah itu dia mengajar di Universitas Berlin meskipun dia masih bekerja sebagai pengacara. Weber menikahi Marianne Schnitzer pada tahun 1893.

Weber pernah menjadi dosen di Universitas Freiburg dan pindah ke Universitas Haidelberg sebagai professor ekonomi. Kehidupan keluarganya masih tetap sama hingga pada suatu ketika Weber mengusir ayahnya karena menurutnya sang ayah terlampau keras dengan ibunya. Namun kurang lebih satu bulan yang kemudian ayahnya meninggal. Hal ini membuat Weber tertekan dan merasa bersalah hingga dia mengalami gangguan pada kesehatan fisik dan psikologisnya. Tahun 1899 dia harus dirawat di rumah sakit dan baru pada tahun 1918 Weber dinyatakan sembuh dan dapat mengajar di Universitas Wina. Max Weber meninggal dunia pada tanggal 14 Juni 1920 karena menderita penemoni.[9]


Pokok-Pokok Pemikiran

Etika Protestan

Dalam penilitiannya yang tertulis dalam karyanya “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme” atau “Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis”, Weber menyebutkan bahwa agama adalah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur dengan mengaitkan dampak pemikiran agama serta perbedaan karakteristik budaya barat.[10] Sudah pasti setiap penelitian yang dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu. Tujuannya adalah untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber menemukan dalam penelitiannya dan menjelaskan bahwa dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, ada faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi.[11] Menurutnya, studi agama hanyalah usaha untuk meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi[12], yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.

            Karya Weber terhasil daripada doktrin Prostestan yang membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat unuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvanis.[13] Jadi ukuran sukses dan gagalnya seseorang diukur dengan tampak yang nyata dalam aktivitas sosial ekonominya yang berarti sukses hidup didunia akan memperoleh jamina surga, manakala sebaliknya akan masuk neraka.

            Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja keras, bersemanagat, sungguh-sungguh dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya, etika Protestan menjadi faktor utama bagi perkembangan lebih lanjut kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvanisme ini menebar ke Amerika Serikat dan sangat berpengaruh. Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebgai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Menurutnya juga, suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya.


Teori Proses Rasionalitas

            Masyarakat Barat pada waktu kondisi sosial budaya khususnya dalam segi pemikiran mulai bergeser dari yang berpikir non rasional menuju ke pemikiran rasional. Weber melihatnya sebagai gejala awal dari sebuah modernitas, sehingga Weber menganalis modernitas melalui teori rasionalitasnya. Selain Weber, tokoh sosiolog lainnya yang hidup pada zaman yang sama yaitu Karl Marx yang menganalisis modernitas menggunakan teori kapitalis. Namun menurut Weber, kapitalisme tidak bisa dijadikan konsep atau kata kunci dari modernitas karena kapitalisme hanyalah salah satu aspek dari rasionalitas. Weber menganggap bahwasannya modernisasi merupakan perluasan rasionalitas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.[14]

            Konsep rasionalitas Weber sangat menarik perhatian para filsuf dalam menganalisis masyarakat modern. Para tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt memahaminya sebagai merasuknya instrumental dalam segenap aspek kehidupan, disebabkan dalam menganalisis masyarakat industri maju mencurigai rasionalitas sebagai biang keladi segala bentuk alienasi, penindasan, dan ke tidak kritisan. Kemudian Herbert Marcuse berusaha menjelaskan rasionalitas yang menguasai masyarakat industri maju ini diawali dengan mengkaji pemikiran Weber sebagai tokoh yang mula-mula menerapkan konsep rasionalisasi.

Weber tidak memberikan suatu pandangan yang tunggal tentang pengertian rasionalitas, namun Habermas (penerus Karl Mark) merangkum pengertian rasionalitas menurut Weber ini dalam dua pengertian, yaitu: pertama, perluasan bidang-bidang sosial yang berada di bawah norma-norma pengambilan keputusan yang rasional. Kedua, industrialisasi kerja sosial yang mengakibatkan norma-norma tindakan instrumental juga memasuki bidang kehidupan yang lain.

Perkembangan rasionalisasi masyarakat juga berkaitan dengan pelembagaan ilmu dan teknologi ke dalam segenap aspek kehidupan. Hal ini mungkin karena prestasi ilmu dan teknologi yang ditunjukkan dalam masyarakat modern telah mampu menawarkan dan memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat. Kenyataan ini didukung oleh paham posistivisme yang berpengaruh saat itu, yaitu kepercayaan pada kemampuan ilmu-ilmu alam untuk menangani berbagai permasalahan dalam masyarakat. Jadi rasionalisasi dalam pengertian Weber adalah proses meluasnya penggunaan rasionalitas ke dalam segenap aspek kehidupan masyarakat.


Penerimaan Teori Weber

            Alasan diterimanya teori Weber ini adalah karena terbukti secara politik lebih mudah diterima daripada radikalisme Marxian. Weber lebih berpandangan liberal terhadap masalah tertentu dan konservatif terhadap masalah lain. Cara penyajian pendapatnya, ia menghabiskan sebagian besar dari usianya untuk mempelajari sejarah secara rinci dengan kesimpulan politis yang memberikan kesimpulan yang sangat ilmiah dan akademis.[15]

            Alasan lainnya adalah Weber bekerja menurut tradisi filsafat yang membentuk karya sosiolog yang cenderung berpikir dalam hubungan sebab-akibat menurut filsafat Kant. Weber juga tampil dengna menawarkan pendekatan terhadap kehidupan sosial yang lebih jauh bervariasi ketimbang Marx.[16]


[1] Dr. Muhammad Fajar Pramono, M.Si, Sosiologi Agama Dalam Konteks Indonesia, Gontor, 2016, Hal. 21.
[2] Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 6.
[3] Ibid,. Hal. 23.
[5] Ibid,. Hal. 28-32.
[7] Calvanis adalah seorang yang mengikuti sebuah sistem teologis dan pendekatan kepada kehidupan Kristen yang menekankan kedaulatan pemerintahan Allah atas segala sesuatu.
[10] Anthony Giddens and David Held, Classes Power and Conflict: Classical and Contemporary Debates, Berkeley, University of California Press, 1982. Hal. 72.
[11] Ibid., hal 81.
[12] Magi berasal dari kata dalam bahasa latin magicus dari magia dan kata dalam bahasa Yunani mageia yang artinya adalah magis atau gaib. Istilah magi memiliki banyak pengertian yang dapat diartiakan menjadi 3 pengertian. Pertama, magi adalah salah satu bentuk agama primitif. Dalam magi, banyak kejadian yang dihubungkan dengan kekuatan gaib. Kedua, istilah magi juga dapat diartikan sebagai ritus yang bertujuan mempengaruhi orang, binatang, roh, dll.
[13] Max Weber. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, 1958, Hal. 117.
[14] Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, Ar Ruzz Media, Yogyakarta, cetakan V, 2007, Hal. 107.
[15] Dr. Muhammad Fajar Pramono, M.Si, Sosiologi Agama Dalam Konteks Indonesia, Gontor, 2016, Hal. 40.
[16] Ibid,. Hal. 41.