Rodhi Hakiki Bin Cecep Mustopa
Universitas
Darussalam Gontor, Ponorogo
Email: rodhihakikibcm@gmail.com
Pendahuluan
Dewasa ini, umat Islam
Indonesia dihadapkan dengan sebuah permasalahan non-fisik. Permasalahan ini
bukan sekadar permasalahan biasa yang apabila ditemukan solusinya maka ia akan
selesai. Permasalahan ini seperti permasalahan yang menular dan berbahaya
bahkan bisa disebut sebagai perang. Umat Islam sekarang berhadapan dengan
perang pemikiran, suatu yang tidak dapat dilihat dan disentuh tetapi dampak dan
bahayanya bisa merusakkan akidah serta keimanan yang bisa menentukan seorang
itu berada di surga atau neraka setelah kehidupan dunia ini. Muncul awalnya
perang ini ketika datangnya paham sekularisme dan liberalisme dari Barat. Paham
Sekularisme dan Liberalisme ini telah merusak ajaran Islam dengan menimbulkan
keraguan umat terhadap akidah dan syariat Islam.
Seiring berkembangnya
paham sekularisme dan liberalisme, paham pluralisme juga ikut berkembang
bersama. Kesalahpahaman dalam memaknai kata ‘plural’ membuat segalanya menjadi
kacau. Pluralisme agama tidak dimaknai dengan adanya kemajemukan agama, tetapi
menyamakan semua agama. Dalam fatwa MUI menegaskan bahwa pluralisme agama
berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan
agama.[1]
Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Ada beberapa pihak
yang mengatakan bahwa tidak ada kesalahan dalam pluralisme agama bahkan dengan
pluralisme agama bisa menjadi solusi dalam toleransi beragama. Secara sekilas
terlihat bahwa pluralisme ini dapat membantu, tetapi kenyataannya banyak bahaya
yang timbul dari pemahaman pluralisme agama ini. Dalam makalah ini, penulis
akan fokus ke pembahasan bahaya pluralisme agama.
Sebuah Definsi
Pluralisme
agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam Bahasa Arab
diterjemahkan menjadi “al-ta’addudiyyah
al’diniyyah” dan dalam Bahasa Inggris “religious
pluralism”. Dalam pengertian terpisah, pluralisme berarti prinsip bahwa
kelompok-kelompok berbeda dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu
masyarakat. Terjemahan bebas dari pengertian didefinisikan John Hick tentang
pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan
persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang Yang Real atau Yang Maha Agung dari
kultur manusia yang bervariasi dan bahwa transformasi wujud manusia dari
pemusatan diri menuju pemusatan Hakikat terjadi secara nyata dalam kultur
manusia tersebut.[2]
Nurcholis Madjid
menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu,
pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah
jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikut-pengikutnya). Kedua, sikap
inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap
pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya:
“Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang
Sama”, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda tapi merupakan
kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian
penting sebuah kebenaran”.[3]
Pemahaman terhadap
definisi pluralisme agama terdapat pelbagai perbedaan termasuk kalangan
pluralis sendiri. Ada yang mengatakan bahwa pluralisme masuk tataran teologis
dan ada juga yang membantah. Perbedaan konsep ini menjelaskan bahwa sejatinya
konsep pluralisme yang dibangun oleh golongan liberal ini rancu dan ambigu.
Bahaya Pluralisme Agama
Para
pengusung pluralisme agama berharap tidak ada lagi agama yang mengklaim dirinya
sebagai pemilik kebenaran hakiki karena pada hakikatnya, agama itu merupakan
hasil dari berbagai pengalaman keberagaman manusia sehingga setiap agama yang
ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.[4]
Kekacauan antar agama terjadi karena tidak adanya toleransi dan saling
pengertian antar pemeluk agama yang berbeda sehingga pluralisme agama adalah
solusi yang tepat untuk mencegah konflik tersebut dan menciptakan keharmonisan
umat manusia di dunia. Sikap toleran terwujud dengan mengakui eksistensi agama
masing-masing dan tidak beranggapan bahwa hanya agamanya yang paling benar.[5]
Ketika sebuah agama tidak boleh mengklaim dirinya paling benar tentunya ini
menjadi maslah baru, karena nilai eksklusivitas suatu agama tidak bisa
dinafikan.
Bukti bahayanya pluralisme
agama ini ditanggapi oleh Pdt. Stevri Indra Lumintang yang menyatakan bahwa
pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi
kekristenan.[6]
Manakala Anis Malik Thoha menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah “agama
baru” oleh karena itu konsep ini sangat berbahaya, dan perlu mendapat perhatian
dan kewaspadaan yang ekstra ketat dari seluruh pemeluk tiap-tiap agama di
dunia.[7]
Umat Hindu juga melakukan perlawanan dan menyatakan bahwa pluralisme adalah
paham ‘universalisme radikal’ yang
intinya menyatakan bahwa “semua agama adalah sama”.[8]
Dari sini terlihat dan bisa dipahami bahwa paham ini sejatinya ditolak oleh
para penganut agama-agama karena paham ini berisiko dan sangat berbahaya.
Dalam agama Kristen, kaum
Pluralis menolak Alkitab sebagai wahyu yang final, oleh sebab itu mereka gagal
dalam memahami segala sesuatu di dalamnya. Puncak kegagalan mereka itu adalah
penolakan terhadap finalitas Kristus dan keselamatan yang ada di dalam Kristus.
Kaum Pluralis jelas tidak mengakui doktrin-doktrin utama dalam Alkitab,
penolakan itu terutama pada masalah kesejarahan Yesus. Mereka menolak Yesus
yang ada dalam Alkitab dan berusaha menggali ulang Yesus yang sesuai dengan
pemikiran mereka dan mengembangkan berbagai penafsiran di dalamnya. Mereka
mengembangkan suatu sistem penafsiran yang didasarkan oleh pandangan historis.
Sistem penafsiran tersebut menghasilkan konsep Krstologi yang baru,
penekanannya lebih difokuskan pada Kristologi yang fungsional dan mengabaikan
Kristologi yang ontologis. Akibatnya pemikiran ini menolak finalitas Yesus dan
berpengaruh terhadap konsep soteriologis yang benar, di mana mereka menekankan
universalitas kasih Allah yang tidak akan menghukum satu orang manusiapun,
bahwa ada keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Seiring dengan itu mereka
mengucilkan bahkan menghilangkan peranan gereja dengan mengembangkan penafsiran
Kerajaan Allah yang keliru.[9]
Manakala dalam agama Hindu,
“yoga” merupakan cara untuk selamat.
Dengan yoga ini manusia akan meraih Moksha
(Pembebasan Mutlak) dan keluar dari karma
dan samsara. Pada saat itulah manusia
dapat menyatukan diri dengan Brahma.[10]
Moksha merupakan tujuan akhir
penganut Hindu yang tidak diperoleh dengan amalan-amalan, karena amal baik
seseorang itu dibalas dengan jalan kelahiran kembali, sama dengan amalan-amalan
jahat. Keselamatan di sini adalah menyatunya manusia dengan Tuhan setelah ia
terbebas dari hawa nafsu. Oleh karena itu, terdapat perbedaan nyata dalam agama
Hindu mengenai jalan keselamatan dan tidak boleh disamakan dengan agama-agama
lain. Menurut Dr. Frank Gaetono Morales, seorang cendekiawan Hindu, pernyataan
bahwa semua agama adalah sama merupakan doktrin yang sama sekali tidak dikenal
dalam agama Hindu tradisional. Beliau juga mengatakan bahwa gagasan Universalisme Radikal (Pluralisme Agama)
yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan agama
Hindu itu sendiri. Penganut Hindu yang mempercayai paham ini sebenarnya tanpa
sadar telah mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno agama Hindu
dan membantu memperlemah matriks filosofis/kultural agama Hindu sampai pada
intinya yang paling dalam.[11]
Pemahaman pluralisme agama ini juga
menggrogoti agama Islam. Islam mengakui adanya pluralitas agama, ras dan kultur
tapi tidak mengakui pluralisme yang memandang bahwa semua agama adalah sama
karena adanya perbedaan fundamental secara teologis antara agama-agama.
Perbedaan fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara
teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Perbedaan ini terlihat dari
konsep keselamatan yang ada dalam Islam yang meyakini bahwa barang siapa yang
beragama selainnya, maka orang tersebut tidak akan selamat (QS. Ali Imran: 85).[12]
Kaum Pluralis ini berusaha untuk menyesatkan dan membingungkan akidah umat
sebagai contoh dalam nikah beda agama karena beranggapan walaupun berbeda
tetapi menuju tujuan yang sama. Al-Ustadz Fahmi Salim menjawab bahwasannya
paham ini bertentangan dengan ajaran Islam dan haram untuk mengikutinya.
Menurut Islam, hanya Islam yang benar dan yang lain adalah batil, meskipun
muslim diajarkan untuk menghormati dan mentoleransi kebebasan umat lain
menjalani keyakinannya. Jika semua agama benar, al-Qur’an dalam surah al-Kaafiruun tidak akan berbunyi
sedemikian rupa. Dari sini terlihat sangat jelas terdapat perbedaan yang tidak
dapat disatukan. Beliau menambahkan bahwa fenomena nikah beda agama ini karena
lemahnya akidah dan pegangan hidup sebagian kecil umat Islam yang disebabkan
jauhnya mereka dari penghayatan agama yang baik dan bahkan cenderung sudah
tidak peduli pada agama alias sekuler.[13]
MUI juga telah mengeluarkan Fatwa tentang pluralisme agama ini yang
dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu
kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru
menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap
berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan
hubungan antar para pemeluknya.[14]
Penutup
Kesimpulannya, setiap
agama memiliki ajaran, syarat dan bentuk keselamatannya masing-masing. Karena
perbedaan ini, maka wajar jika Islam memandang non-Muslim tidak selamat dan begitu
pula sebaliknya. Perbedaan-perbedaan ini adalah pluralitas yang harus dijaga
dan bukan untuk di sama ratakan. Kekhasan dalam setiap agama mendidik manusia
untuk dapat saling menghormati, hidup rukun dan bertoleransi.
Munculnya pluralisme agama
menyebabkan timbulnya polemik baru di kalangan agama-agama. Meski tujuannya
terlihat baik, ternyata paham ini sangat problematik. Melalui analisis pada
pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa agama-agama tersebut menolak paham
ini. Penolakan dari kalangan agamawan terhadap paham ini menunjukkan bahwa
paham ini bermasalah, mengandung polemik dan sangat berbahaya. Bahaya yang
paling menonjol adalah terkikisnya keyakinan para pemeluk agama yang pada
akhirnya memeunculkan orang-orang ateis. Lama-kelamaan, agama-agama di dunia
ini kehilangan pengikutnya yang mulai bersikap skeptis[15]
terhadap agama.
Pluralisme agama tidak akan pernah menjadi solusi atas
keragaman agama-agama dan keharmonisan dan keharmonisan hidup manusia. Malah,
pluralisme menimbulkan dan melahirkan polemik baru antar agama yang memaksakan
pahamnya untuk menyamakan semua agama. Padahal, konsep masing-masing agama
jelas berbeda dan tidak bisa disamakan. Paham ini hanya akan membuat
agama-agama kehilangan identitasnya dan pelan-pelan lenyap tanpa pengikut yang
mempercayainya.[]
Daftar Pusaka
al-Qur’an
al-Karim
Armayanto, Harda. November
2014. Problem Pluralisme Agama. Jurnal
Tsaqofah, Vol. 10, No. 2.
Madjid,
Nurcholish. 1999. Tiga Agama Satu Tuhan.
Bandung: Mizan.
Legenhausen,
M. 2010. Pluralitas dan Pluralisme Agama,
Jakarta: Shadra Press.
Lumintang,
Stevri Indra. 2002. Teologi Abu-Abu
(Pluralisme Iman). Malang: YPPII, Cet. I.
Thoha,
Anis Malik. 2015 “Konsep World Theology
dan Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick”
dalam ISLAMIA. Thn. 1 No. 4, Januari-Maret.
Madrasutra
, Ngakan Made (Ed). 2006. Semua Agama
Tidak Sama. Media Hindu.
Sou’yb,
Joesoef. 1996. Agama-Agama Besar di Dunia.
Jakarta: Pustaka al-Husna Zikra.
Majelis
Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan), Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama,
Al-Ustadz
Fahmi Salim, Mewaspadai Bahaya Jebakan
Isu Pluralisme,
[1] Majelis
Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan Aliran Keagamaan), Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama,
(http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/12b.-Penjelasan-Tentang-Fatwa-Pluralisme-Liberalisme-dan-Se.pdf),
diakses pada 2 April 2017.
[2] Harda
Armayanto, Problem Pluralisme Agama,
Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014. 326.
[3] Nurcholish
Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan,
(Bandung: Mizan, 1999), dalam Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme Itelektual,
(Surabaya: Risalah Gusti, Cet.I, 2005), 12-13.
[4] M.
Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme
Agama, (Jakarta: Shadra Press, 2010), 19.
[5] Ibid.,
37-38
[6] Stevri
Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu
(Pluralisme Iman), (Malang: YPPII, Cet. I, 2002) dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal
Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[7] Anis
Malik Thoha, “Konsep World Theology dan
Global Theology Eksposisi Doktrin Pluralisme Agama, Smith dan Hick” dalam
ISLAMIA. Thn. 1 No. 4, Januari-Maret, 2005 dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal
Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November 2014, 327.
[8] Ngakan
Made Madrasutra (ed), Semua Agama Tidak
Sama, (Media Hindu, 2006) dalam Harda Armayanto, Problem Pluralisme Agama, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 2, November
2014, 327.
[9] Harda
Armayanto, Problem Pluralisme Agama.,
333.
[10]
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di
Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Husna Zikra, 1996), 55.
[11] Ngakan
Made Madrasutra (Ed), Semua Agama…, 23.
[12] al-Qur’an
al-Karim, Surah Ali Imran, Ayat 85, 61.
[13] Al-Ustadz
Fahmi Salim, Mewaspadai Bahaya Jebakan
Isu Pluralisme, (http://www.fahmisalim.com/2015/01/mewaspadai-bahaya-jebakan-isu-pluralisme.html)
diakses pada 2 April 2017.
[14]
Majelis Ulama Indonesia (Bidang Aqidah dan ALiran Keagamaan, Penjelasan
Tentang…, xxx
[15] Menurut kamus besar bahasa indonesia
skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran
dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan
skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau
keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.